Sisi Lain New Normal yang Patut Diantisipasi, Perlukah RI Khawatir Soal Utang!!

JurnalPatroliNews – Jakarta,–  Dalam Rapat Tingkat Tinggi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia (World Bank), Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres menyinggung sebuah hal yang menarik yakni: utang.

Dalam konferensi bertema “Mobilizing with Africa” tersebut Antonio meminta kedua lembaga tersebut untuk mengambil langkah yang cepat untuk mendukung negara-negara anggotanya, sembari mendorong perbaikan pada beberapa aspek ekonomi di tengah pandemi.

“Kita tahu bahwa virus ini akan menyebar seperti kebakaran hutan dan tak ada pagar api di sini,” tuturnya pada perhelatan resmi yang digelar pada Jumat (17/4/2020), sembari menambahkan bahwa: “Mengatasi utang yang mencekik benar-benar krusial.”

Kami menyebut pernyataan ini menarik karena selama ini utang adalah skema andalan baik IMF dan Bank Dunia dalam menjalankan kerja-sama dan atau bantuan terhadap negara-negara anggotanya. Tentu saja, utang tersebut lebih ringan ketimbang utang komersial.

Lalu, mengapa peringatan soal utang ini diberikan?

Gutteres memiliki alasan yang kuat. Saat ini wabah Covid-19 menekan anggaran negara-negara di seluruh dunia karena sumber utama pendapatan mereka yakni penerimaan pajak terganggu seiring dengan terhambatnya aktivitas ekonomi akibat karantina wilayah (lockdown).

Sebagai contoh, Departemen Keuangan New Jersey Amerika Serikat (AS) mengumumkan bahwa penerimaan pajak Mei mereka hanya sebesar US$ 2,12 miliar atau anjlok 13,5%.

Dirjen Pajak pada Februari melaporkan penerimaan pajak nasional turun 5%. Padahal, saat itu pelaku usaha di Tanah Air baru terpukul dampak tak langsung virus corona (strain terbaru) berupa lesunya permintaan China akibat lockdown provinsi Hubei.

Di tengah kondisi demikian, semua negara di dunia dipaksa mengeluarkan dana ekstra guna memberikan stimulus bagi pelaku usaha, agar roda ekonomi tetap berputar dan tidak memicu lonjakan angka pengangguran serta kemiskinan, yang bisa berujung pada instabilitas sosial.

Ketika ekonomi sulit, penerimaan pajak berkurang, dan pembiayaan meningkat (untuk keperluan stimulus), maka utang menjadi solusi paling rasional di banyak negara. Hal ini setidaknya terlihat dari data bank sentral AS dan Jepang.

Menurut data Federal Reserve (The Fed), total utang nonfinansial domestik di Negeri Sam melonjak 11,7% menjadi US$ 55,9 triliun atau setara Rp 782.600 triliun (estimasi kurs Rp 14.000/dolar) pada kuartal I-2020.

Jepang, negara dengan rasio utang terhadap PDB yang terbesar di dunia, juga bernasib sama. Nilai utang Jepang tahun ini diprediksi naik dari posisi akhir tahun lalu US$ 12,2 triliun karena rencana penerbitan surat utang baru senilai US$ 1,1 triliun untuk mengatasi efek corona.

Bagaimana dengan RI?

Menurut catatan PBB, sejak krisis finansial tahun 2008, utang asing di banyak negara berkembang telah melonjak. Suku bunga yang rendah dan likuiditas melimpah di pasar modal memicu banyak pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN).

Per Januari 2020, ketika wabah corona mulai teridentifikasi di China, sebanyak 44% atau nyaris separuh dari utang pemerintah negara miskin dan berpenghasilan rendah telah masuk kategori risiko tinggi (high risk). Kebanyakan berada di Benua Afrika dan Amerika Latin.

Oleh karenanya, PBB memperkirakan Afrika bakal mengalami resesi pertamanya, dalam 25 tahun terakhir, sedangkan Amerika Latin serta negara-negara di Karibia bakal menghadapi resesi terburuk sepanjang sejarah mereka. Sementara itu, Asia dan Timur Tengah bakal menghadapi tekanan atas utang mereka

Ketika wabah Covid-19 menyerang, pasar keuangan global pun anjlok dan likuiditas mengetat karena para investor global berpacu memindahkan dana mereka dari negara berkembang, emerging market, dan negara dengan profil risiko yang tinggi.

Akibatnya, negara yang hendak menerbitkan SBN pun berada pada posisi tawar yang rendah, dan dipaksa untuk memberikan kupon bunga tinggi agar investor asing tertarik untuk membeli obligasi mereka di tengah situasi sulit seperti sekarang.

Di Indonesia, pandemi memaksa pemerintah menerbitkan surat utang lebih banyak. Pemerintah mematok target pembiayaan utang pemerintah tahun ini mencapai Rp 1.440 triliun atau naik empat kali lipat dari target di APBN 2020 sebesar Rp 352 triliun.

Dalam 4 bulan pertama 2020, utang pemerintah bertambah Rp 393,2 triliun menjadi Rp 5.172,5 triliun. Posisi utang tersebut masih berpotensi membengkak karena Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan defisit anggaran bisa melebar hingga 6,27% terhadap PDB.

Perlukah kita khawatir?

Semestinya tidak, jika kita bisa mengikuti jejak Jepang dalam memanajemen utang mereka yang jumbo, yakni mencapai 240% dari PDB-jika mengacu pada data Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).

Angka tersebut bakal melonjak menjadi 250% karena tambahan utang US$ 1,1 triliun untuk mengatasi pandemi Covid-19. Namun, sistem keuangan Jepang tetap stabil karena utang tersebut nyari 90% dipegang oleh entitas lokal dengan produk SBN bernama JGB.

Ketika pandemi pecah, aturan pembatasan terhadap bank sentral Jepang membeli obligasi pemerintah kian dilonggarkan, sehingga mereka kini memegang 50% obligasi bernama JGB (Japan Government Bond) tersebut.

Untung saja, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memungkinkan Bank Indonesia (BI) mengikuti langkah bank sentral Jepang memborong SBN. Sebelumnya, BI memang dilarang membeli SBN di pasar primer sehingga penentuan kupon seringkali “terlalu komersial” mengikuti pasar.

Pada praktiknya, efektifkah kebijakan tersebut? Kita tunggu saja sejauh mana BI agresif masuk ke pasar primer SBN, dan seberapa besar kepemilikan SBN mereka di neraca (balance sheet) yang sampai sekarang belum juga dipublikasikan.

(*/lk/cnbci)

Komentar