Soleman B Pontoh : “Tidak Usah Digubris Itu Surat Komnas HAM”

EXCLUSIVE

 

Tanggapan Laksda TNI (Purn) Soleman B Pontoh Mantan Kepala BAIS TNI terkait Surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) kepada PRESIDEN dan DPR-RI Soal Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Yang Mengatur Keterlibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme Di Indonesia.

Presiden Joko Widodo berencana mengeluarkan Rancangan Perpres terkait permasalahan aksi Terorisme yang kerap terjadi belakangan ini. Berhubungan dengan hal tersebut, Komnas HAM  meminta Presiden mencabut rancangan Peraturan Presiden itu.

Soal keinginan Komnas HAM itu, JurnalPatrolinews melakukan wawancara Exclusive langsung dikediaman Laksda TNI (Purn) Soleman B Pontoh dibilangan Cikarang – Bekasi, berikut hasil wawancara hari ini, Jum’at (26/06/20).

JPNews : Komnas HAM telah mengirim surat kepada Bapak Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR-RI Ibu Puan Maharani. Surat tersebut terkait dengan pandangan Komnas HAM atas Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) dilibatkannya TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Dalam surat itu Komnas HAM meminta Bapak Presiden mencabut Rancangan Perpres tersebut dan disusun satu rancangan yang lebih sejalan dengan prinsip-prinsip criminal justice system, prinsip-prinsip di dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, dan prinsip-prinsip di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maupun prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia lainnya. Bagaimana pandangan bapak ?

Ponto : Rancangan Perpres itu dipandang Komnas HAM berisi tata cara pelaksanaan Operasi Militer yang TIDAK SEJALAN dengan prinsip-prinsip criminal justice system atau berada DILUAR criminal justice system. Rancangan Perpres ini diminta untuk dicabut dan Presiden diminta untuk segera membuat rancangan Perpres yang baru yang isinya sejalan dengan prinsip-prinsip criminal justice system, prinsip-prinsip di dalam Undang-Undang 34 tentang TNI, dan prinsip-prinsip di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maupun prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia lainnya.

Permintaan Pertama adalah Isi dari Rancangan Perpres itu harus sejalan dengan prinsip-prinsip criminal justice system. Artinya isi dari rancangan Perpres itu harus berada didalam prinsip criminal justice system
Untuk itu mari kita bahas satu persatu permintaan dari Komnas Ham itu, apakah Presiden perlu memenuhi permintaan itu atau tidak perlu dipenuhi.

Agar lebih jelas, mari kita lihat bersama Pasal 43 I UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mengatur keterlibatan TNI dalam mengatasi Terorisme. Isi selengkapnya berbunyi :

(1) Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.

(2) Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Tugas Pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada ayat 1 diatur dalam Peraturan Presiden.

Ayat (1) berbunyi :

(1) Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari OPERASI MILITER selain perang.

Artinya dalam mengatasi terorisme, TNI akan melaksanakan OPERASI MILITER, atau MILITARY OPERATION,yang prinsipnya adalah KILL OR TO BE KILL. Berarti ketika berhadapan dengan para teroris, mereka boleh langsung ditembak mati oleh TNI sehingga TIDAK BISA DIBAWA KE PROSES PENGADILAN. Dengan demikian, pelaksanaan Operasi militer ini sudah pasti TIDAK SEJALAN dengan prinsip-prinsip criminal justice system atau berada diluar criminal justice system.

Ayat (2) berbunyi :

(2) Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Tugas Pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.

Ayat 2 ini menguatkan ayat 1, bahwa mengatasi terorisme itu dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI. Fungsi TNI diatur pada pasal 6 UU 34 tahun 2004 ttg TNI dimana TNI difungsikan untuk menangkal dan menindak segala bentuk ANCAMAN MILITER dan ancaman bersenjata baik dari dalam maupun luar negeri.
Artinya menurut ayat 2 ini, TERORISME dikatagorikan sebagai ANCAMAN MILITER, sehingga harus dilawan dengan OPERASI MILITER ATAU MILITARY OPERATION, bukan dengan Penegakan Hukum atau LAW ENFORCEMENT.

Jadi sangat jelas bahwa Operasi Militer selain perang Tidak Sejalan Dengan prinsip-prinsip criminal justice system atau berada diluar criminal justice system.

Ayat (3) berbunyi :

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada ayat 1 (Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari OPERASI MILITER selain perang) diatur dalam PERATURAN PRESIDEN.

Jadi menurut ayat 3 ini, OPERASI MILITER selain perang untuk mengatasi terorisme sebagaimana yang diperintahkan oleh ayat 1 harus diatur dengan Perpres. Artinya Isi dari Perpres adalah mengatur secara terperinci pelaksanaan Operasi Militer selain perang.

Itulah sebabnya Rancangan Perpres itu harus berisi tata cara yang berhubungan pelaksanaan Operasi Militer. Hal ini sudah pasti TIDAK SEJALAN DENGAN prinsip-prinsip criminal justice system atau berada DILUAR criminal justice system. Sehingga TIDAK SALAH apabila isi dari Rancangan Perpres itu TIDAK SEJALAN DENGAN prinsip-prinsip criminal justice system atau berada DILUAR criminal justice system karena sudah sesuai dengan UU 5/2018.

Jadi bila isi Perpres itu SEJALAN DENGAN prinsip-prinsip criminal justice system atau berada DIDALAM criminal justice system, justru akan bertentangan dengan UU 5/2018.

Oleh karena itu, permintaan pertama agar Rancangan Perpres itu harus sejalan dengan prinsip-prinsip criminal justice system TIDAK PERLU dipenuhi oleh Presiden, karena bila permintaan ini dipenuhi, maka Presiden bisa tertuduh sebagai Pelanggar Undang-undang.

Permintaan Kedua, agar isi Rancangan Perpres harus sejalan dengan prinsip di dalam Undang-Undang 34 tentang TNI.

Mari kita lihat bunyi ayat 2 pasal 7 UU 34/2004 ttg TNI yang mengatur pelibatan TNI dalam mengatasi Terorisme, selengkapnya berbunyi :
(2) Tugas Pokok sebagaimana pada ayat (1) dilakukan dengan :
a. Operasi Militer untuk Perang (OMP)
b. Operasi militer Selain Perang (OMSP) yaitu untuk :
1. Mengatasi gerakan separatisme bersenjata.
2. Mengatasi pemberontakan bersenjata.
3. MENGATASI AKSI TERORISME

Jadi prinsip pelaksanaan tugas TNI dalam mengatasi Terorisme menurut UU 34/2004 tentang TNI adalah melaksanakan Operasi Militer selain perang yang TIDAK SEJALAN dengan prinsip-prinsip criminal justice system atau berada DILUAR criminal justice system. Sehingga bila isi dari Rancangan Perpres dinilai TIDAK SEJALAN DENGAN prinsip-prinsip criminal justice system atau berada DILUAR criminal justice system, itu sudah sesuai dengan prinsip yang ada dalam UU 34/2004 tentang TNI.

Oleh karena itu, permintaan Kedua, agar isi Rancangan Perpres harus sejalan dengan prinsip di dalam Undang-Undang 34 tentang TNI, maka permintaan ini pada dasarnya sudah terpenuhi.

Permintaan ketiga, agar isi Rancangan Perpres harus sejalan dengan prinsip di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.

Prinsip dalam pasal 43 I UU 5/2018 adalah pelaksanaan Operasi Militer selain perang. Isi rancangan perpres sudah mengatur secara detil pelaksanaan dari Operasi Militer selain Perang. Oleh karena isi Perpres sudah sesuai dengan amanat dari pasal 43 I UU 5/2018, maka permintaan ketiga ini sudah terpenuhi.

Permintaan keempat, agar isi Rancangan Perpres harus sejalan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
Isi rancangan perpres mengatur secara detil pelaksanaan dari Operasi Militer selain Perang, sesuai dengan kemampuan TNI.

Salah satu dari prinsip Hak Asasi Manusia adalah “para teroris harus dijamin akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku“.

Angka 6 pasal 1 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa :
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Jadi, “dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” adalah Pelanggaran HAM.

Sehingga apabila rancangan Perpres itu SEJALAN DENGAN prinsip-prinsip criminal justice system atau berada didalam criminal justice system, karena itu bukan keahlian TNI. Anggota TNI tidak mendapat Pendidikan untuk melaksanakan Law Enforcemen atau Penegakan Hukum. Oleh karena TNI secara formil tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan Law Enforcemen atau penegakan hukum, maka “dikhawatirkan para teroris tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Hal itu merupakan Pelanggaran HAM sebagaimana yang diatur oleh angka 6 pasal 1 UU 39/2009 tentang Hak Asasi Manusia. Sehingga dengan mudah TNI akan tertuduh sebagai pelanggar HAM.
Dengan demikian apabila isi rancangan Perpres SEJALAN DENGAN prinsip-prinsip criminal justice system atau berada didalam criminal justice system justru akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran HAM, atau bertentangan dengan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

Jadi isi rancangan Perpres mengatur secara detil pelaksanaan dari Operasi Militer selain Perang, yang sejalan dengan kemampuan TNI sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, artinya Permintaan dari Komnas HAM sudah terpenuhi.

Sehingga sangat terlihat bahwa dari 4 (empat) permintaan Komnas HAM, 3(tiga) permintaan sudah terpenuhi. Satu permintaan yaitu isi rancangan Perpres harus SEJALAN DENGAN prinsip-prinsip criminal justice system atau berada didalam criminal justice system TIDAK BISA DIPENUHI OLEH PRESIDEN. Karena kalau permintan ini dipenuhi oleh Presiden, maka Presiden dapat dituduh sebagai pelanggar Undang-undang yang berakibat fatal.

JPNews : Dikatakan Komnas HAM bahwa UU No 34 Tahun 2014 dalam Pasal 7 ayat 3 pelibatan TNI hanya bisa dilakukan pada saat operasi selain perang, termasuk dalam hal pemberantasan terorisme. Namun TNI hanya dilibatkan sebagai perbantuan Polisi dan tidak terlibat sepenuhnya dalam mengatasi terorisme. Pendapat Bapak ?

Ponto : Sangat benar bahwa TNI dalam mengatasi Terorisme diatur oleh Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Tapi bukan pada ayat 3 pasal 7, melainkan pada ayat 2 pasal 7.
Mari kita lihat bunyi ayat 2 pasal 7 UU 34/2004 ttg TNI yang mengatur pelibatan TNI dalam mengatasi Terorisme, selengkapnya berbunyi :
(2) Tugas Pokok sebagaimana pada ayat (1) dilakukan dengan :
a. Operasi Militer untuk Perang (OMP)
b. Operasi militer Selain Perang (OMSP) yaitu untuk :
1. Mengatasi gerakan separatisme bersenjata.
2. Mengatasi pemberontakan bersenjata.
3. MENGATASI AKSI TERORISME

Jadi sangat jelas bahwa MENGATASI TERORISME itu adalah TUGAS POKOK TNI. Jadi saya tidak sependapat dengan Komnas HAM kalau dikatakan bahwa TNI dalam mengatasi Terorisme menjadi bagian dari tugas perbantuan kepada Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Didalam UU 34/2004 tentang TNI tidak ada satu pasal pun dalam UU 34/2004 tentang TNI yang menyatakan bahwa mengatasi Terorisme adalah tugas perbantuan kepada Polisi. Kalau Komnas HAM mengetahui apa pasal itu tolong tunjukan kepada saya.

JPNews : Menurut Komnas HAM bahwa dalam pemberantasan terorisme itu berasarkan konsep criminal justice system, sehingga itu menjadi tugas Kepolisian. Pendapat Bapak ?

Ponto : Perlu diketahui bahwa tidak selalu Pemberantasan Terorisme itu dilaksanakan didalam criminal justice system. Contohnya apa yang terjadi di MARAWI PHILIPINA, apa yang terjadi di Suriah yaitu ISIS. Apakah itu bisa diberantas dengan criminal justice system ?. Sejarah membuktikan bahwa kasus serangan teroris di Marawi dan ISIS di Suriah diberantas dengan melakukan OPERASI MILITER.
Jadi Teroris dapat diberantas dengan dua acara yaitu dengan melaksanakan kegiatan yang berada didalam criminal justice system sebagaimana yang diatur oleh UU Nomor 5/2018 serta kegiatan yang berada diluar criminal justice system atau Operasi Militer sebagaimana yang diatur oleh UU Nomor 34/2004 tentang TNI.

JPNews : Selain itu, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI M Choirul Anam menilai judul rancangan perpres tersebut bermasalah. Judul dinilai bermasalah karena menggunakan kata aksi terorisme dan tidak terdapat tindak pidana yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Terorisme.  Apa tanggapan bapak ?

Ponto : Menurut saya judul Perpres memang tidak harus terdapat kata ”Tindak Pidana”. Agar lebih jelas mari kita lihat bersama Pasal 43 I UU Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Terorisme yang mengatur pelibatan TNI dalam mengatasi Terorisme. Isi selengkapnya berbunyi :

(1) Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.

(2) Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Tugas Pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada ayat 1 diatur dalam Peraturan Presiden.

Jadi sangat jelas menurut ayat 3 pasal 43 UU Nomor 5/2018, isi Perpres adalah bunyi dari ayat 1 yaitu Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang, atau Military Operation yang memang berada diluar criminal justice system. Tidak ada satu kalimat atau kata yang menjelaskan tentang keharusan utk melakukan Law Enforcemen atau tindakan yang berada di dalam criminal justice system. Itulah sebabnya bila dalam judul tidak ada kalimat “tindak pidana” itu sudah sesuai dengan kehendak Undang-undang. Adanya kalimat “tindak pidana” justru bertentangan dengan amanat ayat 1 pasal 43 I UU nomor 5/2018.

Seperti yang sudah saya jelaskan diatas, bahwa berdasarkan ayat 1 dan ayat 3 pasal 43 I UU nomor 5/2018 judul Perpres memang tidak harus terdapat kata ”Tindak Pidana”. Karena isi dari ayat 1 pasal 43 UU nomor 5/2018 itu berada diluar criminal justice system sehingga tidak perlu pengunakan kata-kata “Tindak Pidana”.

JPNews : Anam menyoroti anggaran TNI dalam pancangan Perpres tersebut. Berdasarkan konstruksi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, semua anggaran TNI berasal dari APBN. Rancangan Perpres ini dikatakan Anam dapat membuka peluang anggaran TNI melalui APBD dan sumber lainnya sehingga mengganggu profesionalitas TNI. Apa pendapat bapak ?

Ponto : Yah anggaran itu adalah konsekuensi dari adanya Perpres itu. Isi dari perpres itu disesuaikan dengan bunyi ayat 1 pasal 43 I UU Nomor 5/2018. Jadi kalau tidak menginginkan anggaran seperti itu, ya rubah dulu bunyi dari ayat 1 pasal 43 I UU Nomor 5/2018.

JPNews : Anam menyampaikan, TNI boleh dilibatkan dalam penindakan terorisme, namun dalam skala tertentu dan terbatas dan harus tetap berkoordinasi dengan polisi. TNI hanya diperbolehkan terlibat dalam penindakan terorisme apabila polisi gagal dan terdapat ancaman yang serius. Menurut Bapak ?

Ponto : Wah hebat sekali mereka ini ya. Siapa sih mereka ini ? Kok bisa-bisanya mereka melarang TNI untuk terlibat dalam mengatasi Terorisme ? Sebagai orang pintar yang merupakan ahli hukum tentunya tidak begitu cara menyampaikan pendapatnya.

JPNews : Lalu bagaimana seharusnya cara menyampaikan pendapat orang-orang pintar yang ahli hukum ?

Ponto : Sebagai orang pintar dan sebagai ahli hukum seharusnya mereka tahu bahwa mengatasi Terorisme itu adalah TUGAS POKOK TNI. Karena hal itu dengan jelas diatur pada UU Nomor 34/2004 tentang TNI. Sehingga seharusnya mereka menyatakan begini : Berdasarkan pasal 18 UU Nomor 34/2004 tentang TNI, yang dapat melarang dan memanfaatkan TNI untuk mengatasi Terorisme adalah Presiden dan DPR. Atau berasarkan ayat 3 pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI, pelibatan TNI untuk mengatasi terorisme harus berdasarkan Kebijakan dan Keputusan Politik negara. Jadi selalu ada dasar hukumnya, bukan hanya berdasarkan maunya mereka saja. Kalau hanya berdasarkan kemauan mereka tanpa landasan hukumnya, tentunya dengan mudah TNI akan mengabaikannya.

JPNews : Yang berikutnya adalah dibolehkan tentara juga masuk ketika memang ancaman yang sangat serius, misalnya ketika polisi tidak memiliki alat untuk atau tidak memiliki senjata yang memadai. Nah, itu tentara boleh masuk tapi di bawah koordinasi Polisi. Menurut Bapak ?

Ponto : Memang betul tentara masuk untuk mengatasi Terorisme apabila Polisi sudah tidak sanggup menangkap hidup-hidup para teroris. Untuk mengatasi terorsime itu dilakukan dengan melaksanakan Operasi Militer selain perang, sebagaimana yang diatur pada ayat 2 pasal 7 UU Nomor 34/2004 tentang TNI. Mengatasi terorisme itu adalah tugas Pokok TNI, sebagaimana diatur oleh ayat 2 pasal 7 UU Nomor 34/2004 tentang TNI, yang dilakukan secara mandiri, dan tidak dibawa koordinasi Polisi.

JPNews : Seandainya Bapak diminta saran oleh Presiden tentang Surat ini, apa saran yang akan Bapak sampaikan kepada presiden ?

Ponto : Saran saya kepada Bapak Presiden, surat itu dijawab saja. Akan tetapi dalam surat itu harus ditegaskan bahwa Rancangan Perpres itu tidak akan dibatalkan selama pasal 43 I UU Nomor 5/2018 itu belum direvisi.

(TEAM)

Komentar