TAPOL Rilis Ringkasan Gerakan West Papua Melawan 2019

Jurnalpatrolinews – Jayapura : TAPOL, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang promosi hak asasi manusia, perdamaian dan demokrasi di Indonesia, merilis ke publik ringkasan Gerakan West Papua Melawan 2019.

TAPOL dalam siaran pers yang diterbitkan dari London tanggal 19 Agustus 2020, bertepatan dengan satu tahun gerakan West Papua Melawan. Gerakan dilakukan serentak 22 kota di West Papua, 17 kota di Indonesia, dan 3 kota di luar negeri selama periode 19 Agustus hingga 30 September 2019.

Ringkasan ini mendahului laporan lengkap yang rencananya TAPOL akan terbitkan pada akhir bulan ini. Laporan lengkap menjabarkan detail dari tiap insiden dan tahanan politik.

Sebagaimana diketahui publik bahwa pemicu dari gerakan ini adalah persekusi rasis terhadap mahasiswa West Papua di Malang pada 15 Agustus, di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus, dan di Semarang pada 18 Agustus 2019.

TAPOL menyebut insiden yang paling berpengaruh adalah yang di Surabaya. Ketika itu aparat keamanan Indonesia bersama ormas meneriakkan kata ‘monyet’ berulang kali kepada para mahasiswa. Cacian itu lalu diklaim kembali oleh rakyat West Papua sepanjang protes. Fokus dari Gerakan Melawan di West Papua terkait mengecam rasisme dan tuntutan untuk mengadili pelaku rasis di Jawa, tetapi juga tuntutan untuk referendum kemerdekaan.

“Setidaknya ada 6.500 personil polisi dan militer tambahan yang dikirim ke West Papua untuk menghancurkan Gerakan Melawan ini,” beber TAPOL.

Data TAPOL, 61 orang warga sipil meninggal sepanjang periode ini. 35 diantaranya orang asli West Papua. Dari 35 yang meninggal dunia, 30 dari luka tembak, mengindikasikan bahwa mereka ditembak mati oleh aparat keamanan Indonesia. Lima kematian yang lain disebabkan luka tusukan dari milisi sipil.

Selain itu, setidaknya 287 warga sipil terluka akibat kekerasan selama Gerakan Melawan. Angka sebenarnya lebih tinggi karena banyak orang Papua yang dilaporkan sengaja menghindari dibawa ke rumah sakit. Sejumlah calon pasien enggan ke rumah sakit untuk berobat, karena taktik aparat keamanan yang mengepung rumah sakit usai tiap insiden dan trauma serta ketakutan atas pembalasan.

Tiga kematian akibat penembakan di Deiyai pada 28 Agustus 2018 bisa dihindari jika saja para korban tersebut mengakses pengobatan di rumah sakit. Empat belas pasien di Deiyai ditangkap ketika masih dirawat di rumah sakit, membuktikan bahwa kekhawatiran orang Papua nyata adanya. Kasus yang sama terjadi di Wamena.

Secara keseluruhan, 22.800 warga sipil menjadi pengungsi selama periode Gerakan Melawan. Pasca penembakan di Deiyai pada 28 Agustus 2019 yang menewaskan delapan orang sipil, sekitar 300 orang mengungsi.

Sebelas ribu orang lainnya mengungsi akibat pecahnya konflik horizontal di Wamena, dan 4.000 di Jayapura. Sekitar 6.000 mahasiswa Papua di Jawa dan daerah lainnya kembali ke tanah air mereka.

Operasi gabungan polisi dan tentara terbaru di Kabupaten Puncak ketika Gerakan Melawan menyebabkan 1.500 orang mengungsi.

Selama Gerakan Melawan, ada 13 kasus serangan terhadap kebebasan pers termasuk pemblokiran internet. Pemblokiran internet diputus sebagai pelanggaran hukum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta pada Juni 2020.

Terdata 23 kasus serangan terhadap pembela hak asasi manusia (HAM), termasuk diantaranya satu kasus serangan fisik dan sembilan kasus pelecehan yudisial.

Sebagai tanggapan atas tindakan keras dan meningkatnya kekerasan, Kantor HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan dua pernyataan publik dan mengirimkan dua komunikasi formal kepada pemerintah Indonesia.

“Indonesia menyangkal semua tuduhan,” tulis TAPOL.

Terdapat total 1.013 penangkapan yang menyebabkan 133 tahanan politik selama periode gerakan ini. Dari semua kasus, 22 orang dikenakan pasal makar. Vonis atas para tahanan politik ini berkisar dari 6 bulan hingga 10 tahun penjara.

Sebagai perbandingan, lima tentara pelaku rasis terhadap para mahasiswa West Papua di Surabaya diberhentikan sementara. Hanya satu dari antara mereka yang pernah diadili di pengadilan militer. Sersan Dua Unang Rohana diputus bersalah melanggar perintah atasan, bukan ujaran kebencian, dan diberikan dua bulan percobaan, artinya ia bahkan tidak harus masuk penjara.

“Tidak ada satu pun anggota polisi yang diberikan hukuman atas tindakan disproporsional terhadap para mahasiswa tersebut,” bebernya.

Lima orang sipil Indonesia diadili karena menyerang orang West Papua. Tiga pelaku rasis di Surabaya diputus lima, tujuh, dan sepuluh bulan penjara. Dua dari antara mereka diputus bersalah karena menyebarkan hoax, hanya satu yang diputus bersalah karena ujaran kebencian. Dua orang Indonesia di Jayapura diputus delapan bulan dan tiga tahun penjara karena menikam seorang West Papua hingga meninggal.

Saat ini, setahun setelahnya, 11 tahanan politik dari periode Gerakan Melawan masih berada di balik jeruji. Tetapi mereka yang dikenakan pasal makar sudah bebas usai menjalankan keseluruhan vonis dan kini mereka sudah kembali melakukan aktivitas politik mereka.

Alexander Gobai, salah satu dari tahanan politik yang disidangkan di Pengadilan Negeri Balikpapan, telah melanjutkan posisinya sebagai pimpinan organisasi mahasiswa di universitasnya di Jayapura.

Hingga kini sekitar 2.000 mahasiswa ‘eksodus’ West Papua’ masih berada di West Papua, menunggu untuk difasilitasi melanjutkan studi di dalam West Papua atau wilayah Pasifik.

Seorang remaja yang ususnya terburai akibat serangan di Fakfak masih mengalami kesulitan buang air besar meski sudah menjalani operasi berulang kali.

“Tidak satu pun pelanggaran HAM sepanjang periode Gerakan Melawan yang telah diinvestigasi dengan patut. Pemerintah Indonesia belum mencabut kriminalisasi dan menerapkan hukum finansial terhadap pengacara HAM Veronica Koman,” tulis TAPOL.  (suara papua)

Komentar