Seperti berulang kali saya tulis, pemerintah mengucurkan trilyunan rupiah untuk meningkatkan SDM eksekutif, legislatif, yudikatif, dengan beragam jenis pendidikan dan pelatihan, dengan berbagai jenjang pula. Tetapi pemerintah sangat pelit memberikan bantuan pada SDM media.
Dewan Pers sebagai satuan kerja di Kementerian Kominfo melalui perencanaan di Bappenas dan disetujui di DPR, diberikan anggaran pelatihan dan uji kompetensi wartawan sebesar Rp 12 milyar lebih bagi 1870 wartawan pada tahun 2022 ini. Sedangkan pada tahun 2021 sebesar Rp 10 milyar, yang menghasilkan 1750 wartawan bersertifikat. Sertifikasi lebih banyak dilakukan organisasi wartawan seperti PWI, AJI, IJTI dengan bantuan dari berbagai pihak agar wartawan menjadi professional dan memahami minimal Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Sertifikasi hanyalah pemetaan kompetensi umum, padahal sebenarnya awak media di jenjang tertentu harus memiliki ketrampilan khusus, spesialis, dan konten media semakin bermutu. Begitu pula perlu pelatihan manajemen pengelolaan media agar pengurusan perusahaan pers dilakukan sesuai dengan good corporate government: ada kontrol kualitas konten, ada kredibilitas manajemen di mana wartawan bekerja dalam prosedur dan pertanggungjawaban yang jelas.
Perusahaan media takkan bisa melakukan peningkatan kapasitas SDM-nya sendiri dalam kondisi saat ini. Harus ada peran pemerintah, melalui lembaga di kementrian terkait seperti Kominfo, Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Perdagangan, dan sebagainya.
Masyarakat pun jangan hanya bisa meminta pers harus berbuat ini atau berbuat itu. Berilah media nafas kehidupan. Masyarakat adalah sumur tanpa dasar kalau bicara soal dana yang tersedia. Ada banyak uang, tinggal lagi apakah mau diberikan atau tidak. Bukan hanya saat ini.
Saya teringat saat mingguan Star Weekly, menggalang dana bagi regu Piala Thomas Indonesia yang bertanding di Selandia Baru untuk penyisihan dan kemudian ke Singapura untuk putaran final pada tahun 1958. Melihat pemerintah tidak punya cukup uang dan PBSI pun tidak punya dana cukup, majalah itu membuka dompet donasi. Akhirnya Indonesia mengalahkan Malaysia di final dan memboyong Piala Thomas ke Jakarta dan pemain-pemainnya diterima Presiden Soekarno di Istana Negara.  Semua senang Indonesia berjaya. Kuncinya, dana masyarakat.
Komentar