Selain dugaan pemalsuan dokumen, Ujang juga menyebut bahwa Paragon telah memanfaatkan pabrik tersebut secara ilegal untuk kegiatan operasionalnya. “Gudang pabrik sekarang digunakan untuk menyimpan barang-barang mereka, truk-truk mereka parkir di sana, bahkan para karyawan mereka beraktivitas di dalamnya. Padahal, mereka tidak memiliki hak sah atas pabrik ini,” jelasnya.
Dampak bagi Iklim Investasi
Kasus ini bukan hanya masalah hukum yang berdampak pada Akira Takei sebagai investor, tetapi juga berpotensi merusak citra investasi di Indonesia. Ujang menilai bahwa lemahnya eksekusi hukum dalam kasus ini bisa memberikan sinyal buruk bagi para investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
“Jika hukum bisa diabaikan seperti ini, bagaimana investor bisa merasa aman menanamkan modalnya di sini? Ini jelas merugikan iklim investasi Indonesia,” katanya.
Ujang berharap agar pemerintah dan aparat hukum bertindak tegas dalam menegakkan keadilan. Ia menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, agar tidak timbul persepsi bahwa hukum hanya berpihak pada mereka yang memiliki kekuatan finansial dan koneksi kuat.
Latar Belakang Sengketa
Kasus ini berawal pada tahun 1990 ketika Akira Takei, seorang pengusaha asal Jepang, membeli lahan seluas 4,2 hektar di Jatake, Tangerang, untuk mendirikan perusahaan kayu. Karena statusnya sebagai warga negara asing, kepemilikan tanah diatasnamakan kepada para direktur yang ditunjuknya. Selain membeli lahan, Akira Takei juga menggelontorkan investasi sebesar 250 juta yen, termasuk membeli mesin-mesin produksi dari Jepang dan Jerman senilai Rp90 miliar.
Komentar