Namun, hanya dalam enam bulan, perusahaan mengalami kerugian besar akibat kesalahan manajemen. Para direktur yang ditunjuknya kemudian meminjam tambahan dana sebesar Rp31 miliar, yang ironisnya juga berasal dari Akira Takei sendiri. Meskipun mendapatkan suntikan modal, perusahaan tetap tidak berjalan sebagaimana mestinya, hingga akhirnya terjadi konflik internal.
Akira Takei kemudian membawa kasus ini ke ranah hukum dengan menggugat para direktur di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia memenangkan gugatan tersebut, dan pengadilan menetapkan bahwa para direktur harus mengembalikan aset perusahaan serta melunasi utang sebesar Rp31 miliar ditambah bunga sejak 1993. Sebagai bagian dari eksekusi putusan pengadilan, aset-aset perusahaan, termasuk pabrik, masuk dalam daftar sita eksekusi.
Namun, upaya eksekusi mengalami hambatan akibat klaim kepemilikan yang diajukan oleh Cris. Meskipun Cris kalah dalam gugatan perlawanan di Pengadilan Negeri Tangerang pada 2018, pabrik tersebut tetap berpindah tangan ke Paragon pada tahun berikutnya. Ujang Wartono menilai transaksi ini tidak sesuai prosedur hukum, sehingga sengketa terus berlanjut.
Dengan laporan resmi yang kini telah diajukan ke Polres Tangerang Kota, Ujang berharap bahwa kasus ini dapat segera mendapatkan kejelasan hukum. “Saya sudah bersabar bertahun-tahun, tapi sampai sekarang eksekusi masih tertunda. Ini bukan hanya soal satu individu, ini soal keadilan dan kepastian hukum di Indonesia,” pungkasnya. ***
Komentar