Harga Tes PCR di Bali Capai Rp1,9 Juta, Kadiskes: Itu Nggak Boleh, Saya Akan Tutup

JurnalPatroliNews – Denpasar – Pemberlakuan aturan baru calon penumpang pesawat terbang harus menjalani tes PCR benar-benar mendatangkan banyak masalah di lapangan.

Di Bali, karena permintaan tes PCR yang membeludak oleh masyarakat, terutama wisatawan yang hendak balik dari Bali.

Bahkan, biaya tes PCR menjadi melambung tinggi hingga mencapai Rp1,9 juta.

Terkait fenomena tersebut, Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Provinsi Bali, dr.Ketut Suarjaya mengaku kaget dengan kabar tersebut.

Dokter Pimpinan Diskes Provinsi Bali asal Desa Pengastulan Seririt ini menegaskan, bahwa tindakan yang dilakukan oleh laboratorium tersebut ilegal.

Suarjaya juga berjanji jika mendapat informasi yang valid akan melakukan penertiban terkait itu.

“Dimana lokasinya, kasih tahu saya info, saya akan tertibkan itu, nggak boleh terjadi,” ujarnya saat dikonfirmasi, Minggu 24 Oktober 2021.

Apalagi, pemerintah menurutnya telah mengatur harga tes PCR dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/2824/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reserve Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).

“Kalau ada seperti itu kami akan tutup itu, kan ada SE-nya itu, kami juga sudah buat edaran, nggak boleh ada yang melewati, kalau ada saya kasih tahu, akan saya tutup lab-nya,” tegas dr. Ketut Suarjaya.

Dalam surat tersebut tercantum, bahwa pemerintah menetapkan biaya tes PCR di wilayah Jawa-Bali menjadi Rp495.000.

Adapun biaya tes PCR di luar Jawa-Bali ditetapkan paling tinggi Rp525.000.

Aturan ini mulai berlaku efektif sejak 17 Agustus 2021.

Sehingga, jika ada laboratorium yang mematok harga di atas angka tersebut, maka pihaknya tidak segan-segan akan menutup laboratorium tersebut.

“Kan Rp 495 ribu, kalau ada yang lebih, kami akan tutup,” paparnya.

Suarjaya juga menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh laboratorium tersebut adalah akal-akalan semata.

“Tidak boleh ada batasan itu, kalau mau lebih cepat atau gimana akal-akalan itu, kita nggak mau itu,” paparnya.

Ia kembali menegaskan bahwa laboratorium tidak boleh mengulur-ulur waktu dikeluarkannya hasil tes PCR.

“Pokoknya 1 kali PCR itu secepat dia bisa lakukan itu, kalau dia mengulur-ulur untuk dia bisa lebih mahal menyalahi aturan itu, nggak boleh terjadi itu, saya tutup itu,” ucapnya.

Apalagi, menurut dia di Bali sendiri sudah ada 26 laboratorium berizin untuk melakukan tes PCR di Bali.

Dari jumlah tersebut, menurutnya dalam keadaan normal 26 laboratorium tersebut mampu melayani 4.500 tes PCR dalam sehari.

Bahkan, ia meyakini jika jumlah tes PCR di Bali dalam keadaan Pandemi bisa dilipatgandakan menjadi 9 ribu sehari.

“Tidak, nggak kekurangan kita ada 26 lab di Bali, 1 hari dalam keadaan normal 4.500, kalau bisa diperbanyak bisa dua kali lipat bisa,” paparnya.

Sebelumnya, Bayu Rizki, salah seorang penumpang pesawat terbang yang hendak kembali ke Jakarta usai liburan di Bali menyebut hampir semua lokasi tes PCR di Pulau Dewata overload.

Ia bercerita, dirinya sempat mencari tes PCR di daerah Sunset Road, Kuta.

Namun dirinya tidak beruntung karena kuota sudah melebihi batas alias overload.

Begitu juga di beberapa rumah sakit swasta di kota Denpasar, semuanya penuh.

“Overload semua ini,” kata Bayu yang menuding, bahwa sebenarnya masih ada layanan tes PCR yang hasilnya bisa didapat dalam waktu hanya 4 jam, akan tetapi harganya selangit.

“Yang expres harganya Rp1,9 juta. Yang biasa H plus 2 baru keluar hasilnya, nah yang ini overload,” kata dia.

Dia sangat menyayangkan adanya praktik komersialisasi test PCR tersebut.

Apalagi dengan menawarkan harga yang dirasa cukup menguras kantong.

“Parah ini kondisinya. Semuanya mau cari duit,” kata dia.

(*/TiR)

Komentar