Airlangga di Titik Kritis: Masa Depan Ekonomi Indonesia Dipertaruhkan di Meja Negosiasi

JurnalPatroliNews – Jakarta – Nasib ekonomi nasional saat ini tengah dipertaruhkan dalam negosiasi dagang strategis antara Indonesia dan Amerika Serikat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memikul tanggung jawab besar dalam upaya melobi penurunan tarif ekspor produk Indonesia yang bisa mencapai hampir 50 persen di pasar AS.

Namun, sebagai bagian dari tawar-menawar, Indonesia membuka ruang kompromi dengan mempertimbangkan pelonggaran kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)—sebuah kebijakan penting yang selama ini digadang sebagai pilar kemandirian industri dalam negeri.

Amerika Serikat menginginkan kelonggaran TKDN untuk proyek-proyek non-tradisional seperti pembangunan pusat data (data center) di Indonesia. Padahal, keberadaan data center sangat strategis karena menyimpan informasi vital negara dan rakyat. Di sinilah titik rawan muncul: apakah kompromi ini akan memberi nilai balik nyata, atau justru melemahkan fondasi kedaulatan digital dan ekonomi nasional?

Presiden Prabowo Subianto sendiri tengah mengevaluasi pendekatan TKDN dari yang bersifat wajib menjadi sistem insentif. Harapannya, pendekatan ini lebih ramah investasi dan memberikan penghargaan pada industri yang mau menyerap komponen lokal secara sukarela.

Langkah ini memang membuka peluang arus modal asing yang lebih deras. Namun, tantangan utamanya terletak pada kejelasan imbal balik dari mitra dagang seperti AS. Jika tidak ada komitmen konkret dari AS, misalnya dalam bentuk penurunan tarif secara substansial atau transfer teknologi, maka pelonggaran ini berpotensi menjadi pengorbanan sepihak.

Lebih buruk lagi, jika kebijakan ini menurunkan perlindungan bagi industri dalam negeri, maka Indonesia berisiko kembali ke jebakan lama: ketergantungan pada modal asing dan kehilangan kemandirian strategis di sektor industri.

Sejarah Mengingatkan: Malari 1974 dan Peringatan dari Jalanan

Negosiasi ekonomi yang lebih mengutamakan investor daripada rakyat sejatinya bukan fenomena baru. Peristiwa Malari pada Januari 1974 menjadi contoh nyata bagaimana rakyat menolak arus investasi yang tidak memberikan ruang berkembang bagi kekuatan ekonomi nasional. Mahasiswa yang dipimpin Hariman Siregar saat itu memprotes masuknya modal Jepang yang dianggap hanya menguntungkan segelintir elite dan mengabaikan pemerataan.

Komentar