Airlangga di Titik Kritis: Masa Depan Ekonomi Indonesia Dipertaruhkan di Meja Negosiasi

Dampaknya? Ketimpangan meningkat, suara rakyat diabaikan, dan gejolak sosial pun tak terhindarkan. Malari menjadi pelajaran sejarah bahwa jika ekonomi hanya melayani kepentingan asing, rakyat tak akan tinggal diam.

Ketegasan Dalam Diplomasi Ekonomi: Belajar dari Korea dan Bung Hatta

Saat Korea Selatan bernegosiasi ulang dalam KORUS FTA dengan AS, mereka tidak hanya meminta pasar, tetapi juga mengamankan transfer teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Begitu pula Bung Hatta yang menolak mentah-mentah keinginan Belanda menjadikan Indonesia pasar pasca-kemerdekaan. Prinsipnya sederhana tapi kuat: ekonomi Indonesia harus ditopang oleh kekuatan sendiri, bukan menjadi satelit kepentingan asing.

Akankah Kita Mengulang Sejarah?

Kini, ketika Airlangga duduk di meja perundingan, yang dipertaruhkan bukan sekadar angka tarif atau insentif investasi—tapi arah masa depan ekonomi nasional. Apakah Indonesia akan tetap berdiri sebagai negara dengan kedaulatan ekonomi, atau perlahan berubah menjadi pasar pasif tanpa kekuatan tawar?

Pelonggaran TKDN hanya akan berarti jika menjadi bagian dari strategi nasional yang matang. Tapi jika dilakukan semata demi iming-iming penurunan tarif tanpa kepastian imbal balik, maka itu bukan diplomasi, melainkan pengorbanan.

“Bangsa yang tidak mampu mandiri secara ekonomi akan terus dijajah, walau tanpa peluru dan bendera.” — Bung Hatta.

Dan jika suara rakyat kembali tak didengar, sejarah sudah menunjukkan jalannya: jalanan akan kembali bersuara.

Komentar