Dr. Hayu juga menekankan pentingnya menjaga kearifan lokal dalam pengembangan bioekonomi. “Masyarakat adat dan lokal memiliki pengetahuan yang mendalam tentang pengelolaan sumber daya hayati. Mereka harus menjadi bagian inti dari rantai nilai bioekonomi, sehingga manfaat ekonomi yang dihasilkan dapat dirasakan secara adil oleh mereka,” tambahnya.
Dalam FGD ini, berbagai topik strategis dibahas, termasuk bagaimana dunia usaha dapat menciptakan model bisnis bioekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta bagaimana media dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran publik dan mempromosikan potensi bioekonomi Indonesia.
Dr. Hayu juga menggarisbawahi perlunya perguruan tinggi berperan aktif dalam melahirkan inovasi teknologi yang bernilai komersial dan dapat dihilirisasi. Hal ini sejalan dengan pendekatan Rainforest Social Business School yang mendorong integrasi bisnis berkelanjutan dengan inovasi, pendidikan interdisipliner, serta pemberdayaan masyarakat lokal untuk menciptakan solusi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan berdampak sosial positif.
Selain Hayu Prabowo, FGD tersebut menghadirkan pembicara Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M,S, Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa Fakultas Kehutanan IPB; Prof. Dr. Dedy Darnaedi, M.Sc., Peneliti Pusat Kajian Tumbuhan Tropika Universitas Nasional (UNAS); CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar; dan Abdon Nababan, mitra BUMMA (Badan Usaha Milik Masyarakat Adat).
Menurut Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M,S, Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa Fakultas Kehutanan IPB, Bioprospeksi adalah proses pemanfaatan sumber daya hayati, termasuk genetik dan materi biologis, untuk tujuan komersial.Melalui tahapan riset, identifikasi, hingga komersialisasi, bioprospeksi mendukung pembangunan bioekonomi dan pelestarian biodiversitas.
Komentar