Eko juga menyoroti keterbatasan yang masih dihadapi BPR, seperti modal, tata kelola, infrastruktur, serta produk dan layanan yang belum memadai. “Masalah-masalah ini membatasi peran BPR dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah,” tambahnya.
Prof. Edy Suandi Hamid, Komisaris PT BPRS Harta Insan Karimah Mitra Cahaya Indonesia, menyebut kebijakan ini tidak adil. “Memaksa penggabungan BPR/BPRS yang sehat dan memiliki kinerja baik tanpa alasan kuat adalah tindakan yang naif,” katanya.
Menurut Edy, pemilik modal mendirikan beberapa perusahaan untuk diversifikasi risiko. “Diversifikasi ini penting dalam prinsip kehati-hatian bisnis. Jika perusahaan terlalu besar, pengawasan menjadi sulit dan berpotensi mengganggu kinerja usaha,” tambahnya.
Edy juga menekankan pentingnya keberadaan banyak lembaga keuangan formal di Indonesia yang beragam untuk menjangkau masyarakat hingga pelosok. “Memaksa merger terhadap lembaga yang sudah beroperasi baik bertentangan dengan semangat deregulasi Pakto 88 yang justru mendorong pendirian bank di daerah,” ujarnya.
Edy menilai kebijakan konsolidasi hanya relevan bagi BPR/BPRS yang bermasalah atau tidak mampu memenuhi persyaratan permodalan. “Namun, jika diterapkan pada BPR/BPRS yang sehat, ini kebijakan yang keliru dan kontraproduktif,” tegasnya.
Kritik-kritik ini diharapkan menjadi masukan penting bagi OJK untuk mengevaluasi kebijakan tersebut, agar tetap mendukung penguatan sektor keuangan mikro dan UMKM di Indonesia.
Komentar