JurnalPatroliNews – Jakarta – Target pertumbuhan ekonomi Indonesia 7 – 8% di era Prabowo pasti tidak mudah, bahkan mustahil jika tidak ada strategi kebijakan yang optimal. Indonesia harus menjalankan kebijakan outward looking yang targetnya adalah bersaing di pasar internasional dengan meningkatkan produktivitas dan berlevel global.
Hal ini disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini dalam diskusi bertajuk “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo: Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industrialisasi”, yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bekerjasama dengan INDEF secara daring pada Minggu (22/9/2024).
Menurutnya, jika bisa tumbuh 6,5 – 7% itu satu hal yang baik tapi jika hanya 5% ke bawah, Indonesia tidak akan bisa kemana-mana dan tetap jadi middle income country di level bawah. “Jika ingin berhasil, juga harus ada tim yang super dan tidak politicking atau techno politician yang bukan politisi tapi teknokratis. Bukan politisi memble yang tidak punya wawasan dan visi” kata Didik.
Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S. Damanhuri melihat bahwa industri manufaktur mengalami kemunduran luar biasa, saat era reformasi yang sekitar 5% pertumbuhan ekonominya tetapi pertumbuhan industrinya sekitar 4%. “Berdampak pada kesempatan kerja yang diberikan, jadi mereka yang tidak dapat masuk pada dunia kerja maka masuk kepada sektor informal. Sistem politik sebagai ekosistem industri manufaktur berkembang karena sistem politiknya juga tidak mendukung” jelasnya.
“Jadi situasi 10 tahun terakhir Indonesia mengalami proses industrialisasi yang sangat radikal, di akhir pemerintahan Jokowi bahkan di bawah 18%. Hilirisasi terjadi, tetapi pada prakteknya hanya dilaksanakan untuk nikel, tetapi mengandung kontroversi yang luar biasa di mana perusahaan China yang memiliki tenaga kerja kasarnya warga negara China” terang Didin.
Menurut Didin, Indonesia sangat urgent dalam mendorong reindustrialisasi dengan menetapkan industrial policy. Prasyaratnya dengan menjaga stabilitas ekonomi makro, memperbaiki iklim investasi baik di sektor keuangan maupun sektor riil, mempercepat dan memperluas pembangunan infrastruktur yang relevan, menguatkan skema kerjasama pembiayaan investasi dengan swasta baik asing maupun nasional.
“Saat ini kita mengalami tantangan revolusi industri 4.0, penguasaan perusahaan asing terhadap perusahaan rintisan, hal ini sudah terjadi sehingga perusahaan rintisan melakukan PHK massal disebabkan tidak adanya peranan pemerintah di dalamnya. Bahkan, yang terjadi saat ini tidak ada kepemimpinan negara terhadap industrialisasi, yang terjadi saat ini adalah penumpukan utang luar negeri” imbuhnya.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyoroti bahwa di era pasca reformasi, janji politik sering dijadikan acuan. “Permasalahannya, janji politik adalah produk PR walaupun ada teknokratiknya. Sebenarnya kita sedang mencoba menelaah janji politik tersebut. Sepanjang sejarah, Indonesia hanya 5 kali mencapai di atas 8% pertumbuhan ekonominya di mana hal tersebut disebabkan oleh Oil. Industrialisasi merupakan cara satu-satunya karena orientasi pemerintah ke depan untuk memberikan insentif pada perusahaan-perusahaan jasa” tegas Wija.
“Sejarah menunjukkan pengalaman negara-negara besar di dunia China, India, Inggris, Jepang dan Amerika, ekonomi mereka membesar karena terdongkrak oleh proses industrialisasi. Fakta sejarah seharusnya menunjukkan kepada pemerintah Indonesia bahwa ‘there is no other way, other than industrialization’. Dari tahun ke tahun industri manufaktur Indonesia terus menurun, tidak hanya manufaktur tetapi juga pertahun mengalami tren penurunan. Indonesia saat ini menempati GDP 18,7%, sedangkan pada zaman orde baru rata-rata berada di angka 25%” tutur Wijayanto.
Komentar