JurnalPatroliNews – Jakarta – Produksi bioetanol berkualitas bahan bakar di Indonesia saat ini masih tergolong rendah. Dari total 13 fasilitas industri bioetanol yang beroperasi di Tanah Air, hanya segelintir yang benar-benar mampu menghasilkan etanol dengan spesifikasi sesuai standar bahan bakar kendaraan bermotor.
Informasi ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, dalam sebuah diskusi terbuka. Menurutnya, hanya sekitar tiga industri yang telah berhasil memproduksi etanol dengan mutu fuel grade, dengan volume gabungan sebesar 60 ribu kiloliter (kl). Selebihnya masih memproduksi etanol untuk kebutuhan makanan dan minuman.
Yang menarik, dari jumlah itu, setengahnya berasal dari perkebunan milik negara. PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), anak usaha dari Holding Perkebunan PTPN III (Persero), menyumbang 30 ribu kl dari total produksi nasional.
“Bu Dirjen EBTKE tadi menyebutkan totalnya ada 60 ribu kiloliter, dan 30 ribu di antaranya berasal dari kami di PTPN. Kami punya bahan bakunya juga,” ujar Direktur Utama SGN, Mahmudi, dilansir CNBC Indonesia, Senin (19/5/2025).
Namun, Mahmudi menilai angka tersebut belum mencerminkan potensi sebenarnya. Menurut dia, pemanfaatan fasilitas produksi bioetanol untuk sektor energi masih jauh dari maksimal. “Kapasitas yang digunakan untuk bahan bakar masih sangat kecil, belum menyentuh 5 persen dari total potensi yang ada,” katanya.
Ia menambahkan, langkah awal yang bisa diambil adalah memaksimalkan pemanfaatan 60 ribu kiloliter yang sudah ada saat ini. “Kalau kita ingin memulai, selesaikan dulu penggunaan yang sudah tersedia itu. Baru kita dorong ekspansi berikutnya,” imbuhnya.
Sementara itu, Eniya Listiani juga mengingatkan bahwa pemerintah sebenarnya telah menyusun peraturan menteri yang mewajibkan pembuatan peta jalan (roadmap) pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar. Sayangnya, pelaksanaan dari regulasi tersebut belum optimal, terutama karena belum disambut dengan kesiapan industri secara menyeluruh.
“Sejak dulu kami sudah punya dasar hukumnya. Tapi penerapannya belum berjalan sesuai target,” ucap Eniya.
Ia menjelaskan lebih lanjut, target awal dari roadmap yang telah disusun adalah pencampuran bioetanol dalam bahan bakar hingga 20% pada tahun 2025. Namun, hingga kini target itu belum tercapai. Faktor penghambatnya, antara lain, adalah kebijakan cukai dan belum sinkronnya regulasi antar sektor.
“Masalah regulasi, termasuk soal cukai, masih jadi hambatan besar. Ini yang harus disusun ulang agar roadmap bisa dijalankan,” jelasnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam produksi bioetanol berkualitas tinggi, langkah nyata untuk menjadikannya bagian utama dalam transisi energi ramah lingkungan masih memerlukan dorongan serius—baik dari sisi industri, infrastruktur, maupun kebijakan pemerintah.
Komentar