Sentimen Negatif Semakin Mendera, Sri Mulyani Cemas : Rupiah Tak Berdaya.

JurnalPatroliNews – Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Apa boleh buat, banyak sentimen negatif mendera mata uang Tanah Air.

Pada Jumat (4/6/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.290 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Hari ini, lumayan banyak sentimen negatif yang bisa melemahkan rupiah. Satu, minat investor terhadap aset berisiko sedang rendah, yang tercermin dari koreksi di bursa saham New York.

Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,07%. Sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite berkurang masing-masing 0,36% dan 1,03%.

Dua, ada kabar mengejutkan dari Gedung Putih. Presiden AS Joseph ‘Joe’ Biden menandatangani aturan yang melarang dunia warganya untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan China yang dituding punya keterkaitan dengan pihak militer.

Ada 59 perusahaan yang masuk daftar ini, beberapa di antaranya adalah Aviation Industry Corp of China (AVIC), China Mobile Communication Group, China National Offshore Oil Corp (CNOOC), Hangzhou Hikvision Digital Technology Co Ltd, Huawei Technologies Ltd, dan Semiconductor Manufacturing International Corp (SMIC). Jika perusahaan itu adalah perusahaan publik, maka warga AS dilarang untuk membeli sahamnya.

“Saya menemukan bahwa ada penggunaan teknologi perangkat pengawas China di luar wilayah mereka untuk memfasilitasi represi dan pelanggaran hak asasi manusia serius,” tegas Biden, sebagaimana diwartakan Reuters.

Bahkan bukan tidak mungkin perusahaan China yang masuk ‘daftar hitam’ bakal semakin bertambah. Seorang pejabat senior di pemerintahan membisikkan kepada Reuters bahwa dalam beberapa bulan ke depan akan ada peraturan pemerintah (executive order) baru untuk menampung tambahan nama-nama perusahaan lainnya.

Ketegangan AS-China yang meruncing saat Negeri Adidaya dipimpin oleh Donald Trump ternyata belum reda. Di bawah komando Biden, Washington ternyata masih ‘galak’ terhadap Beijing.

Perseteruan AS-China berdampak besar terhadap perekonomian global karena keduanya adalah kekuatan ekonomi terbesar di kolong atmosfer. Jika AS dan China saling hambat, maka rantai pasok global akan terganggu sehingga menekan ekspor berbagai negara, termasuk Indonesia.

Tiga, data ketenagakerjaan terbaru AS kurang kondusif bagi pasar keuangan. ADP melaporkan, sektor swasta AS menciptakan 978.000 lapangan kerja baru selama Mei 2021,Ini adalah kenaikan tertinggi sejak Juni tahun lalu.

Realisasi itu lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yaitu terjadi penciptaan lapangan kerja sebanyak 654.000. Juga lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 650.000.

Angka ADP dirilis sehari sebelum data resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan AS. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan terjadi penciptaan lapangan kerja sebanyak 650.000 pada bulan lalu. Jauh lebih tinggi daripada bulan sebelumnya yaitu 266.000.

Data lain di bidang ketenagakerjaan adalah klaim tunjangan pengangguran. Pada pekan yang berakhir 29 Mei 2021, klaim berkurang 20.000 menjadi 385.000. Ini adalah yang terendah sejak pertengahan Maret tahun lalu dan lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 390.000.

“Pembukaan kembali aktivitas masyarakat terus menghasilkan dampak positif bagi pasar tenaga kerja. Bahkan saat ini terjadi ketidakseimbangan, permintaan tenaga kerja tinggi tetapi pasokannya mulai sulit dicari,” kata Rubeela Farooqi, Kepala Ekonom High Frequency Economics yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Meski menjadi kabar gembira bagi sektor riil, tetapi perbaikan di pasar tenaga kerja adalah kabar buruk di pasar keuangan, terutama buat aset-aset berisiko.

Sebab, ekonomi yang semakin membaik plus peningkatan penciptaan lapangan kerja akan menjadi justifikasi bagi bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) untuk mulai melakukan pengetatan alias tapering off.

Sejak awal masa pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), Ketua Jerome ‘Jay’ Powell dan kolega telah memangkas suku bunga acuan hingga ke level terendah dalam sejarah, nyaris 0%.

Tidak hanya itu, The Fed juga menggelontorkan likuiditas ke perekonomian dengan memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar setiap bulannya.

Ini semua dilakukan untuk ‘merangsang’ ekonomi yang ‘mati suri’ gara-gara pandemi. Sekarang ketika ekonomi terus menunjukkan tanda-tanda kebangkitan, sepertinya tapering off sudah di depan mata.

Mungkin suku bunga masih akan bertahan rendah dalam waktu lama. Namun dosis gelontoran likuiditas atau quantitative easing yang sepertinya bakal mulai dikurangi.

“Kami berencana untuk mempertahankan Federal Funds Rate tetap rendah untuk jangka waktu lama. Namun mungkin sudah saatnya untuk setidaknya berpikir mengenai pengurangan pembelian surat berharga yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan,” ungkap Patrick Harker, Presiden The Fed cabang Philadelphia, juga dikutip dari Reuters.

Bayangan akan taper tantrum 2013-2015 pun muncul lagi. Kala itu, The Fed yang baru membuka wacana akan mengetatkan kebijakan moneter sudah membuat investor bereaksi. Arus modal berkerumun di pasar obligasi pemerintah AS, karena imbal hasil (yield) sangat sensitif terhadap suku bunga. Aset-aset lain kehilangan daya tarik sehingga harganya anjlok.

“Pelaku pasar mencerna bahwa data ekonomi AS yang kuat akan menciptakan tekanan inflasi. Investor menilai bukan tidak mungkin tapering bakal terjadi dalam waktu dekat, dan itu akan sangat mempengaruhi harga saham,” kata Brad Nueman, Director of Market Strategy di Alger yang berbasis di New York, seperti diberitakan Reuters.

“Suku bunga tinggi dan inflasi adalah paket yang sedang sangat dipantau oleh investor. Jika inflasi tinggi, suku bunga tinggi, maka akan berdampak negatif terhadap pasar saham,” tambah Chuck Carlson, CEO Horizon Invesment Services yang berbasis di Indiana, seperti dikutip dari Reuters.

(*/lk)

Komentar