Soal Sistem Pembangkit Listrik Surya Atap, Ekonom Ingatkan Risiko Besar, APBN Diramal Memikul Beban EBT

JurnalPatroliNews – Jakarta – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengingatkan risiko beban tambahan bagi keuangan negara di tengah situasi sulit jika pemerintah melalui Kementerian ESDM serta parlemen terus mengejar percepatan bauran energi terbarukan.

Diketahui, saat ini pihak Senayan masih menggodok Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT), sementara pemerintah tengah proses revisi Peraturan MenteriESDM Nomor 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Surya Atap oleh Konsumen Perusahaan Listrik Negara.

Dia mengatakan perkembangan energi terbarukan memang menjadi tren dunia saat ini dan ke depan. Namun, dia mengingatkan bahwa langkah tergesa-gesa pemerintah untuk mengejar bauran energi terbarukan sebesar 23 persen dapat membahayakan.

Pasalnya, sejumlah klausul pada dua beleid tersebut dinilai dapat menekan keuangan PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) sebagai satu-satunya penyelenggara listrik di Indonesia, yang pada akhirnya dapat menjadi beban tambahan APBN hingga masyarakat.

“Demi mengejar bauran EBT sebesar 23 persen, artinya pemerintah harus melakukan kebijakan yang dramatis untuk transisi ke energi terbarukan. Cuma kalau sampai itu berdampak negatif terhadap negara, dalam hal ini PLN, akhirnya hanya ada sedikit pilihan,” ujar Abra, Senin (6/9).

Pertama, ujarnya, negara mau tidak mau harus melakukan penyuntikan modal terus menerus kepada PLN melalui APBN. Sementara itu, kondisi APBN saat ini sedang tertekan dengan defisit yang sudah diperlebar di atas 3 persen hanya dalam waktu 3 tahun.

Kedua, lanjutnya, yakni apabila negara tidak mampu memberikan dukungan anggaran maka PLN akan melakukan penyesuaian tarif dengan menaikkan tarif listrik.

“Ini sudah diwacanakan juga oleh dirut PLN, bahkan menyebut dengan berani juga, kalau tarif PLN bisa naik, ini akan membantu menyehatkan perusahaan. Artinya kan sinyal bahwa PLN ini sudah tidak tahan menghadapi situasi yang sekarang,” katanya.

Diketahui, Abra merupakan salah satu dari sembilan tokoh dan ahli di bidang energi dan ekonomi yang melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) yang berisi tentang masukan dan rekomendasi atas langkah regulator dalam mempercepat bauran energi terbarukan.

Sementara delapan tokoh lainnya adalah Sofyano Zakaria dari Puskepi, Marwan Batubara (IRESS), Komaidi Notonegoro (Reforminer), Ferdinan Hutahaean (Energy Watch Indonesia), Defiyan Cory (Ekonom Konstitusi), Mamit Setiawan (Energiy Watch), Salamudin Daeng (AEPI), dan M Kholid Syeirazi (ISNU).

Dalam surat tersebut, para tokoh menyoroti langkah Kementerian ESDM yang saat ini sedang dalam proses merevisi Permen ESDM No. 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Surya Atap oleh Konsumen Perusahaan Listrik Negara.

Sejumlah perubahan yang akan dilakukan yakni meliputi peningkatan tarif ekspor listrik dari 65 persen menjadi 100 persen; kelebihan tabungan listrik dinihilkan diperpanjang; permohonan izin PLTS Atap dipercepat; pelanggan PLTS Atap dapat melakukan perdagangan karbon; sistem operasi menggunakan aplikasi digital; pelayanan berlaku bagi pelanggan non PLN, dan PLN akan menyediakan pusat pengaduan.

Dengan revisi tersebut, Kementrian ESDM berharap dapat mencapai target penambahan kapasitas PLTS Atap sekaligus mempercepat bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen.

Kendati para tokoh menilai bahwa revisi sebagian ketentuan dalam peraturan tersebut akan bermanfaat, tetapi ada juga perubahan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi negara, PLN dan rakyat.

Hal itu khususnya akibat perubahan tarif ekspor net metering listrik dari semula 65 persen menjadi 100 persen. Bisnis PLN dinilai akan dirugikan karena ketentuan tersebut tidak memperhitungkan susut jaringan dalam proses ekspor (distribusi) listrik.

“Kewajiban untuk membeli listrik EBT PLTS Atap berpotensi mengganggu cash flow PLN dan menambah beban subsidi listrik di APBN,” ujar para tokoh dalam surat yang dilayangkan kepada Presiden.

Menurut mereka, masuknya listrik PLTS Atap pada sistem PLN akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi listrik secara keseluruhan, yang pada akhirnya akan meningkatkan anggaran subsidi listrik di APBN untuk setiap tahun anggaran.

Menurut para tokoh, percepatan penambahan kapasitas PLTS Atap dan bauran EBT 23 persen bukanlah target yang harus dicapai ‘at any cost’, tanpa mempertimbangkan berbagai potensi kerugian yang akan timbul.

“Kalau ada kelebihan maka pemerintah yang mensubsidi lewat APBN, itu kan berarti uang di APBN dipakai untuk kepentingan bisnis orang-orang kaya yang mampu membangun PLTS atap, sementara APBN kita terbatas,” ujar Marwan Batubara.

Oleh karena itu, para tokoh merekomendasikan tiga poin terkait dengan rencana revisi Permen ESDM No. 49/2018.

Pertama, ujar mereka, untuk keadilan bagi seluruh pihak terkait, maka ketentuan mengenai tarif ekspor listrik harus dipertahankan pada nilai 65 persen.

Kedua, untuk memudahkan perencanaan dan menjaga stabilitas sistem kelistrikan, maka perlu dilakukan pembatasan kapasitas terpasang dan pembelian listrik PLTS Atap sesuai kebutuhan sistem kelistrikan nasional.

Ketiga, mempertimbangkan manfaat dan nilai tambah ekonomi nasianal masih rendah, maka pemerintah perlu menunda revisi regulasi sampai industri PLTS di dalam negeri telah siap atau telah dapat memenuhi ketentuan TKDN yang ditetapkan pemerintah.

APBN Tak Bisa Sendiri
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengakui bahwa APBN tidak dapat sendiri dalam menutup kebutuhan dana untuk menjalankan kebijakan transisi energi demi mengurangi emisi di sektor energi dan transportasi.

“Mengubah transportasi yang saat ini ada di Indonesia menjadi mass transportation, membutuhkan biaya investasi yang besar. APBN tidak dapat melakukannya sendiri,” ujar Sri melalui keterangan resmi pada Kamis (26/8) lalu.

Dalam publikasi di situs resmi Kementerian Keuangan pada Rabu (4/8), Direktur Jenderal Pembiayaan dan Risiko (Dirjen PPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman menyebutkan bahwa pemerintah telah menyediakan dukungan fiskal bagi tahapan proyek pembangkit tenaga listrik EBT.

Salah satunya yang diterapkan pada pengembangan PLTS Terapung Cirata berkapasitas 145 megawatt di Waduk Cirata, Jawa Barat, yang telah melalui tahapan financial close.

Secara umum, tahapan proyek pembangkit tenaga listrik EBT terbagi menjadi tujuh tahapan, mulai dari studi kelayakan hingga operasi. Adapun, berbagai dukungan fiskal yang berbeda disediakan bagi setiap tahapan proyek pembangkit EBT tersebut. Salah satunya insentif perpajakan.

“Adapun insentif perpajakan saat ini yang tersedia untuk sektor EBT antara lain dalam bentuk tax holiday dan tax allowance, pembebasan PPN untuk peralatan dan fasilitas pembebasan bea masuk impor,” jelas Luki dalam publikasi tersebut.

Lebih lanjut, Dirjen PPR mengakui bahwa keterbatasan ruang fiskal dan pentingnya value for money mendorong pentingnya peningkatan peran
pendanaan swasta dalam pengembangan PLT EBT.

Skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) juga dapat dimanfaatkan dalam pengembangan infrastruktur EBT.

Sebelumnya, Dirjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menegaskan bahwa kehadiran PLTS Atap tidak akan merugikan PLN dan tidak akan menyebabkan peningkatan BPP listrik yang dapat membebani PLN dan pada akhirnya merugikan masyarakat.

Adapun terkait dengan perubahan skema tarif ekspor-impor net-metering listrik dari 0,65:1 menjadi 1:1 sebagaimana yang akan dimuat pada revisi Permen ESDM No. 49/2018, Dadan menyatakan bahwa pihaknya terus melakukan kajian dan langkah-langkah persiapan.

“Jadi tidak bahwa seluruh listrik masuk ke PLN, kemudian ada jual beli, kemudian PLN-nya rugi, tidak seperti itu modelnya. Ini adalah net-metering. Jadi dipakai dulu oleh kita, konsumen, kemudian itu lebihnya dikirim ke PLN. Kalau untuk industri, karena mereka telah menghitung dengan baik, kemudian konsumsi di dalam. Pada saat nanti dikonsumsi, itu angkanya sekitar 5%-8% yang dititipkan di PLN,” terangnya dalam diskusi Indonesia Forward pada Kamis (26/8) malam.

Lebih lanjut, Dadan menyebutkan bahwa dari angka-angka tersebut pihaknya tidak melihat akan terjadi penambahan kerugian dari sisi PLN, termasuk peningkatan BPP.

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye “Energi dari Negeri” mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan. (*/lk)

Komentar