JurnalPatroliNews – Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah menjadi sorotan tajam di media sosial, menyusul munculnya rencana pemerintah yang akan menarik pajak dari para penjual di platform e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan sejenisnya.
Pantauan terbaru pada Kamis, 26 Juni 2025, menunjukkan bahwa unggahan terakhir di akun Instagram Sri Mulyani saat kunjungan kerja ke Tiongkok dibanjiri lebih dari 900 komentar. Mayoritas dari komentar tersebut memuat keluhan, kecaman, dan rasa kecewa dari para warganet, terutama pelaku usaha daring.
Rencana pemberlakuan pajak 0,5 persen bagi penjual online memicu gelombang protes. Banyak pengguna media sosial menilai kebijakan ini tidak berpihak kepada rakyat kecil, khususnya para pelaku UMKM digital yang sedang berjuang bertahan di tengah tekanan ekonomi.
“Kalau negara belum bisa membuka lapangan kerja, tolong jangan malah memperberat beban usaha rakyat kecil,” tulis salah satu pengguna Instagram dengan nada memohon.
Sejumlah komentar bahkan merinci biaya-biaya yang sudah dikenakan platform e-commerce terhadap penjual, seperti biaya admin, potongan promo, ongkos subsidi pengiriman, hingga pajak iklan, yang dirasa sudah sangat memberatkan. Tambahan pungutan negara sebesar 0,5 persen dinilai sebagai tekanan baru yang menyulitkan.
“Sudah banyak biaya yang dipotong, masa ditambah lagi beban pajak dari negara?” protes akun lainnya.
Kritik tajam juga diarahkan pada kesenjangan antara pengorbanan masyarakat dan gaya hidup elite pejabat. Beberapa pengguna menyindir gaji pejabat tinggi yang dinilai besar, sementara rakyat kecil harus menanggung beban pungutan baru.
Tak sedikit pula calon pelaku usaha yang mengaku kehilangan semangat memulai bisnis karena wacana pajak tersebut.
Sementara itu, pihak Kementerian Keuangan melalui Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, membenarkan bahwa pemerintah sedang merampungkan aturan teknis mengenai penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak.
Menurutnya, ketentuan ini akan menyasar pelaku usaha dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar—kelompok yang selama ini sudah tergolong Wajib Pajak UMKM.
“Regulasi masih difinalisasi. Nanti kalau sudah disahkan, akan kami umumkan secara resmi dan transparan,” jelas Rosmauli.
Ia menegaskan bahwa tujuan utama dari kebijakan ini adalah menyederhanakan administrasi perpajakan dan menciptakan level playing field yang adil antara pelaku usaha daring dan konvensional.
Langkah ini juga bagian dari upaya pemerintah untuk menambal turunnya pendapatan negara. Sepanjang Januari hingga Mei 2025, penerimaan negara tercatat menurun 11,4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, hanya mencapai Rp995,3 triliun.
Komentar