Terungkap! Ini Alasan Kemenkeu Tolak Gunakan Rasio Utang Versi IMF

JurnalPatroliNews – Jakarta – Kementerian Keuangan mengungkapkan alasan memilih rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (Debt to GDP Ratio) sebagai tolok ukur dalam menilai risiko utang nasional. Menurut Kemenkeu, metode ini lebih banyak diterapkan oleh berbagai negara di dunia ketimbang rasio utang lainnya.

“Tentunya faktor GDP menjadi hal yang lebih umum dipakai,” kata Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Riko Amir dikutip Senin, (30/9/2024).

Riko menjelaskan bahwa penggunaan rasio utang terhadap PDB memberikan keuntungan bagi Indonesia karena memungkinkan negara untuk mengetahui posisi risiko utangnya dibandingkan dengan negara-negara lain yang selevel.

“Jadi positioning-nya juga kita berada di mana sih dari tataran negara-negara lain,” ujar dia.

Meskipun demikian, Riko menegaskan bahwa Kemenkeu tetap mempertimbangkan parameter lain dalam mengevaluasi risiko utang pemerintah, seperti rasio utang terhadap penerimaan negara atau Debt to Service Ratio (DSR). Namun, menurutnya, rasio utang terhadap PDB tetap lebih relevan untuk membandingkan posisi Indonesia dengan negara lain.

“Ya, semua parameter dihitung, tetapi untuk menilai posisi kita di antara negara-negara sejajar, PDB adalah yang lebih umum,” jelasnya.

Sebelumnya, sejumlah ekonom mengkritik kecenderungan pemerintah yang hanya berfokus pada rasio utang terhadap PDB saat menjelaskan kondisi utang nasional. Mereka menilai bahwa pendekatan ini memberikan gambaran yang bias dan tidak mencerminkan risiko sebenarnya dari utang pemerintah, yang kini telah mencapai lebih dari Rp 8.000 triliun.

Eko Listiyanto, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyatakan bahwa rasio utang terhadap PDB tidak boleh dijadikan satu-satunya acuan. Ia menegaskan bahwa IMF lebih menekankan pada rasio utang terhadap pendapatan (Debt to Service Ratio) untuk menilai kelayakan utang sebuah negara.

Eko menambahkan bahwa dengan utang nasional yang mencapai Rp 8.000 triliun, rasio utang terhadap penerimaan negara mencapai 300%, dua kali lipat dari batas aman 150% yang ditetapkan oleh IMF. “Ini jelas sudah melewati ambang batas,” ungkap Eko.

Pandangan serupa disampaikan oleh ekonom senior Didik J. Rachbini, yang menilai pemerintah sering kali menggunakan perbandingan dengan negara lain untuk menunjukkan bahwa utang Indonesia masih dalam batas aman. Namun, menurut Didik, kondisi Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain.

Sebagai contoh, ia menyebut Jepang yang memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 261,3%. Meskipun jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang hanya sekitar 40%, bunga utang yang dibayar Jepang jauh lebih rendah.

“Kalau pemerintah mengatakan rasio utang kita masih di bawah 100%, perlu diingat bahwa meski utang Jepang tinggi, bunga yang mereka bayar hanya sekitar 0,7-0,9%. Jadi beban pembayaran bunga mereka lebih ringan,” terang Didik.

Komentar