Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa Indonesia masih berpegang teguh pada Perjanjian Paris terkait perubahan iklim, meskipun Amerika Serikat telah menarik diri dari kesepakatan tersebut.
Namun, menurut Bahlil, kebijakan energi nasional tetap harus disesuaikan dengan prioritas dalam negeri, termasuk mempertimbangkan keberlanjutan pasokan listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). “Kami tetap berkomitmen, tetapi skala prioritas harus diperhitungkan agar kondisi keuangan negara dan biaya listrik tetap terkendali,” katanya dalam pernyataan di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Bahlil juga mengungkapkan bahwa PLTU berbahan bakar batu bara masih menjadi pilihan utama karena biaya produksinya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan energi baru terbarukan (EBT) atau gas. Menurutnya, listrik dari PLTU hanya memerlukan biaya produksi sekitar 5-6 sen per kWh, sementara pembangkit berbasis EBT bisa mencapai lebih dari 10 sen per kWh.
“Jika kita beralih sepenuhnya ke energi baru, selisih biaya per satu gigawatt per tahun bisa mencapai Rp5-6 triliun. Siapa yang akan menanggung biaya ini? Negara dengan subsidi tambahan, atau rakyat? Saya harus mengutamakan kepentingan rakyat,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kebijakan Amerika Serikat yang mulai mengendurkan komitmennya terhadap Perjanjian Paris. “Kalau negara besar seperti AS saja keluar, kenapa kita harus terus ditekan? Namun, kami tetap berupaya mengembangkan energi baru terbarukan dengan pendekatan yang realistis, seperti mengombinasikan PLTU dengan gas, energi surya, serta teknologi penangkapan karbon,” pungkasnya.
Komentar