Covid-19: Pecinan Di Berbagai Penjuru Dunia Melawan Pandemi Sekaligus Rasisme – ‘Kami Harus Bertahan’

JurnalPatroliNews – Tahun baru Imlek biasanya merupakan waktu tersibuk di kawasan pecinan di berbagai belahan dunia. Namun pada 2020, Imlek bertepatan dengan terjadinya pandemi virus corona, sehingga membuat restoran-restoran kosong.

Satu tahun berlalu, BBC berbicara dengan para pemilik usaha di pecinan untuk mencari tahu bagaimana mereka bertahan dan apa langkah mereka selanjutnya.

Restoran Sam Wo telah bertahan selama berabad-abad di kawasan pecinan San Fransisco, Amerika Serikat. Tapi tahun lalu merupakan tahun yang berat.

Covid-19 menyebabkan restoran di seluruh dunia menutup usaha mereka, dan pecinan merasakan dampak berat dari situasi itu. Virus corona yang pertama kali muncul di Kota Wuhan, China, pada akhir 2019 membuat restoran seperti Sam Wo tak hanya harus berjuang melawan pandemi tapi juga sentimen anti-Asia.

“Semua restoran Italia di North Beach masih sibuk dan penuh sesak. Ketika Anda melewati terowongan ke Union Square terdapat antrean orang-orang yang ingin masuk.

“Namun ketika Anda berkendara di sekitar Pecinan, situasinya benar-benar kosong,” kenang salah satu pemilik Sam Wo, Steven Lee, menggambarkan pekan-pekan sebelum kebijakan karantina wilayah diumumkan pada awal 2020.

“Jadi kita tahu, xenophobia sungguh berdampak pada usaha kecil. Mengapa distrik lain ramai tapi distrik kami justru sebaliknya?”

Setelah 12 bulan berlalu, mereka terpaksa untuk mengurangi jumlah karyawan dari 23 orang menjadi tiga orang saja karena sedikitnya pelanggan yang datang.

“Orang-orang tidak datang, mereka ketakutan,” kata Lee kepada BBC.

“Kami harus menyerukan kepada masyarakat untuk melawan virus… tapi kampanye kami tidak terlalu berhasil.”

Pecinan di Yokohoma, Jepang pada tahun 2019 (AFP)

Di Yokohama, kota dengan pecinan terbesar di Jepang, orang-orang tak sekadar menghindari tempat-tempat usaha di pecinan. Pesan-pesan anti-China ditempelkan di pintu-pintu sejumlah restoran pada akhir Maret.

Mereka sudah mengalami kesulitan finansial yang berat: angka penjualan turun drastis ke sekitar 10% dari periode tersibuk.

Walikota Yokohoma mendukung para pengusaha, mengatakan pada media lokal bahwa ia “sangat marah” atas pesan-pesan anti-China itu.

Pernyataan itu direspons oleh warga Yokohoma, mereka menyampaikan dukungan melalui pesan-pesan di media sosial, meminta para pengusaha untuk “bertahan” seraya berjanji mengunjungi tempat usaha mereka.

Namun, kemudian kebijakan karantina wilayah diberlakukan. Akibatnya restoran-restoran ini tak dapat beroperasi.

“Saya tahu banyak usaha di pecinan telah tutup. Situasi yang mengerikan,” kata Ying Hou, yang menjalankan usaha Shandong MaMa di Melbourne, Australia.

“Banyak toko-toko cinderamata yang biasanya didatangi turis tak mampu bertahan dan harus tutup,”tuturnya pada BBC.

Perempuan ini juga menderita ketika lockdown diberlakukan pada pertengahan2020. Sebagai catatan, karantina wilayah di kota ini merupakan salah satu kebijakan lockdown terketat di dunia.

Ying Hou menceritakan omzet usahanya hanya 50% dari omzet yang biasanya ia dapatkan sebelum pandemi. Ia lantas beralih menjual pangsit beku yang dapat dimasak para pembeli di rumah.

Tanda yang ditempelkan di restoran di Melbourne untuk meyakinkan pelanggan akan protokol kesehatan yang diterapkan (14 Februari 2020) AFP

Beruntung, penjualan pangsit beku ini berhasil, Shandong MaMa adalah satu-satunya tempat di pecinan yang menjual pangsit.

Melbourne memberikan keringanan sewa kepada banyak pengusaha di pecinan tahun lalu, tetapi untuk Ying Hou, kebijakan itu sekarang telah berakhir.

“Jika kami terus membayar sewa penuh dengan pendapatan 50%, maka kami benar-benar akan bangkrut.”

Lalu apa target utamanya untuk tahun depan atau selanjutnya?

“Untuk bertahan hidup,” katanya.

Di pecinan New York, Karho Leung, pendiri usaha cukur rambut 12 Pell juga tengah memutar otak untuk menemukan cara baru mendatangkan pelanggan.

“Pecinan di New York adalah salah satu tempat di dunia yang tidak pernah tutup. Kami tidak tutup saat Natal bahkan juga saat Tahun Baru, hanya sedikit usaha yang tutup pada saat Tahun Baru China.”

Namun tahun lalu, bahkan toko-toko keperluan mendasar pun telah tutup sejak Mei.

“Seperti kota hantu dan sangat menakutkan untuk menyaksikannya,”kata Karho Leung.

Ketika waktu untuk membuka kembali usaha tiba, ia berpikir mengenai berbagai persiapan untuk mendatangkan pelanggan ke tempat cukur rambutnya.

Terinspirasi dari Hong Kong, ia menambahkan sekat pembatas, pengukur suhu tubuh, dan alat humidifier agar udara tetap segar, kemudian merekamnya dan menyebarkan video itu di media sosial.

Video itu menjadi viral, para calon pelanggan mendapat penjelasan mengenai upaya protokol kesehatan yang dilakukan.

“Kami melihat lonjakan pengunjung dalam waktu singkat. Saat itu menjadi pekan tersibuk yang pernah kami alami dalam hidup kami, tapi pekan sesudahnya sangat sepi.” Katanya.

“Mungkin kurang dari 20 orang saja yang memesan tempat dan kami mulai khawatir.”

Leung lalu menyadari tak hanya usahanya yang kekurangan pelanggan. 12 Pell,berlokasi di ‘deretan usaha cukur rambut’ dan banyak usaha serupa lainnya yang tak memiliki satu orang pun untuk dilayani.

Leung kemudian memutuskan untuk memberikan cukur gratis bagi mereka yang berbelanja US$45 di pecinan. Mereka hanya perlu menunjukkan resi belanja mereka.

Ia juga bekerja sama dengan inisiatif media sosial lainnya, seperti mengarahkan langsung para pengguna media sosial ke restoran daripada ke perusahaan seperti Uber Eats.

“Kami meningkatkan penggunaan media sosial sebagai cara utama untuk menarik anak muda agar kembali,” kata Leung.

Pecinan di New York jelang Imlek pada tahun 2019. Setahun kemudian, situasi di seluruh kota telah berbeda. AFP

‘Kirimkan Cinta untuk Pecinan’, sebuah kelompok di New York, juga mencoba untuk membantu para pengusaha dengan bekerja sama dengan mereka untuk membuat website, membuat akun media sosial, dan dalam beberapa kasus membantu merancang ulang menu dan logo.

“Upaya ini mulai kami lakukan sekitar Januari, Februari tahun lalu, yang menjadi masa paling meriah, menyenangkan, dan paling menguntungkan bagi pecinan.

“Usaha mereka terpukul dan mereka kehilangan banyak,” kata Louise Palmer, perwakilan dari grup di New York tersebut.

“Saat lockdown pada bulan Maret, mereka dalam kondisi defisit, yang merupakan preseden terburuk untuk sisa sepanjang tahun.”

Organisasi ini juga mempromosikan pecinan di media sosial, menciptakan ‘kerumunan makanan’ yang diharapkan dapat meningkatkan para pengunjung.

Di San Fransisco, jumlah pelanggan telah bertambah dengan diperkenalkannya outdoor dining, restoran menyiapkan meja-meja di luar bangunan restoran mereka sehingga para pengunjung bisa menikmati makanan mereka di ruang terbuka.

Situasi ini menumbuhkan harapan baru bagi rekanan pemilik Sam Wo.

“Saya ada di Pecinan pada pekan lalu, pada hari Sabtu dan situasinya luar biasa,” kata Lee.

“Banyak sekali orang di luar sana.”

Kini ia menanti bisa bersantap lagi di dalam restoran sehingga para pengunjung dapat kembali ke Sam Wo. Restoran itu terletak di puncak bukit, yang berarti bersantap di ruang terbuka tak dapat dilakukan.

Lee juga bersiap untuk membuka kelab malam pertama di Pecinan dalam 40 tahun terakhir yang ia harapkan dapat membantu membangkitkan kembali kawasan itu.

“Kawasan Pecinan ini adalah pecinan tertua di negara ini. Kami adalah daya tarik bagi para turis, tempat di mana semua orang datang ketika mereka berkunjung ke San Fransisco. Jadi kami harus mempertahankannya.”

Komentar