JurnalPatroliNews – Jakarta – Kepercayaan terhadap hal-hal mistis menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia. Salah satu fenomena yang kerap muncul adalah keyakinan bahwa kekayaan bisa diperoleh secara instan lewat bantuan makhluk halus, seperti tuyul dan babi ngepet.
Makhluk supranatural ini sering digambarkan sebagai “perantara gaib” yang digunakan pemiliknya untuk mencuri uang secara diam-diam dari rumah warga. Namun, satu pertanyaan yang kerap muncul: mengapa keduanya tak pernah terdengar mencuri di bank?
Meski jawabannya kerap dilandasi penjelasan mistik, ternyata ada penjelasan sosial dan historis yang masuk akal di balik kepercayaan ini.
Latar Belakang Sosial Ekonomi
Kemunculan cerita tentang tuyul dan babi ngepet erat kaitannya dengan perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi pada masa kolonial. Sekitar tahun 1870, sistem ekonomi liberal mulai diterapkan di Hindia Belanda. Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam buku Ekonomi Indonesia 1800-2010, kebijakan ini menggeser kontrol lahan dari petani kecil ke tangan investor asing dan pabrik besar, terutama di sektor gula dan perkebunan.
Akibatnya, petani lokal yang dulu memiliki tanah sendiri, kehilangan sumber penghidupan. Di saat yang sama, muncul kelas sosial baru: para pedagang dan pengusaha, termasuk dari kalangan Tionghoa dan pribumi, yang mendadak kaya karena akses ke ekonomi modern. Perubahan ini memicu kecemburuan dan rasa ketidakadilan dari kalangan miskin.
Lahirnya Narasi Mistis
Karena masyarakat saat itu masih sangat percaya pada hal-hal gaib, proses akumulasi kekayaan yang tak terlihat—seperti perdagangan dan bisnis—dianggap sebagai hasil kerja sama dengan makhluk halus. Lahirlah mitos tuyul dan babi ngepet sebagai penjelasan “gaib” atas kekayaan yang tidak dapat mereka pahami secara logis.
Dalam masyarakat, orang yang kaya secara mendadak sering dicurigai sebagai “pesekutu setan”, dan dituding memiliki harta dari hasil kerja makhluk astral. Tuduhan ini tidak hanya merusak reputasi mereka, tetapi juga membuat stigma kaya lewat jalur cepat dianggap tak bermoral.
Mengapa Tak Mencuri di Bank?
Secara logika, makhluk seperti tuyul dan babi ngepet memang tak pernah dikisahkan mencuri di institusi formal seperti bank. Sebab, narasi ini tumbuh di lingkungan masyarakat agraris dan tradisional, bukan dalam konteks dunia finansial modern. Konsep “mencuri uang tetangga” terasa lebih masuk akal dalam kerangka sosial masyarakat pedesaan ketimbang membayangkan makhluk gaib menembus sistem keamanan perbankan.
Minat Peneliti Asing
Fenomena kepercayaan ini bahkan menarik perhatian akademisi asing. Antropolog Clifford Geertz, dalam bukunya The Religion of Java, menyoroti bahwa masyarakat Jawa benar-benar percaya ada individu yang memelihara tuyul. Biasanya, perjanjian dilakukan di tempat-tempat sakral atau keramat.
Menurut Geertz, ciri-ciri pemilik tuyul bisa dikenali, seperti:
- Mendadak jadi kaya
- Pelit meskipun tajir
- Kerap mengenakan pakaian lusuh
- Lebih suka mandi di sungai bersama buruh kasar
- Makan makanan sederhana, seperti singkong atau jagung
Tindakan itu dilakukan demi menyamarkan kekayaannya, agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat sekitar.
Walaupun kisah tentang tuyul dan babi ngepet terus hidup di tengah masyarakat, makhluk ini sejatinya mencerminkan potret sosial masyarakat—bukan makhluk yang benar-benar bisa mengambil uang dari sistem bank digital. Cerita ini adalah simbol dari ketimpangan, kecemburuan, dan cara tradisional dalam memaknai kesuksesan ekonomi yang tiba-tiba.
Komentar