JurnalPatroliNews – Jakarta – Bashar al-Assad, yang telah memimpin Suriah selama lebih dari dua dekade, meninggalkan Damaskus dalam pelarian mendadak pada Minggu dini hari, 8 Desember. Kepergiannya menandai berakhirnya lebih dari 50 tahun kekuasaan keluarga Assad di Suriah. Pelarian ini dilakukan dengan sangat rahasia, bahkan tanpa sepengetahuan orang-orang terdekatnya, termasuk keluarga dan pejabat kepercayaannya.
Di saat-saat terakhir pemerintahannya, Assad masih berusaha menunjukkan optimisme. Dalam pertemuan di Kementerian Pertahanan pada Sabtu malam, ia meyakinkan sekitar 30 komandan militer dan kepala keamanan bahwa bantuan militer Rusia akan segera tiba. Namun, di balik layar, ia ternyata telah merencanakan pelariannya. Seorang komandan yang hadir mengungkapkan bahwa Assad meninggalkan pertemuan dengan alasan pulang ke rumah, tetapi langsung menuju bandara.
Bahkan penasihat media utamanya, Buthaina Shaaban, tidak mengetahui rencana tersebut. Ketika dipanggil untuk membantu menyusun pidato, ia hanya menemukan rumah Assad kosong.
“Assad tidak memberikan perlawanan terakhir atau memotivasi pasukannya. Dia membiarkan para pendukungnya menghadapi nasib mereka sendiri,” ungkap Nadim Houri, Direktur Eksekutif Arab Reform Initiative, seperti dilansir Reuters pada Jumat (13/12/2024).
Pelarian Terencana
Assad meninggalkan Damaskus dengan pesawat tanpa transponder, menghindari deteksi radar, dan mendarat di Pangkalan Udara Hmeimim Rusia di Latakia sebelum melanjutkan perjalanan ke Moskow. Keluarganya, termasuk istrinya Asma dan ketiga anak mereka, sudah berada di Moskow sebelumnya. Namun, saudara laki-lakinya, Maher Assad, serta sepupunya, Ehab dan Eyad Makhlouf, tertinggal di Suriah. Maher berhasil melarikan diri ke Rusia melalui Irak, sementara Ehab tewas dalam serangan pemberontak saat berusaha menuju Lebanon.
Media sosial memperlihatkan video rumah Assad yang ditinggalkan secara mendadak, dengan makanan masih tergeletak di atas kompor dan album foto keluarga yang tertinggal.
Dukungan Rusia dan Iran yang Terbatas
Di hari-hari terakhir pemerintahannya, Assad terus meminta dukungan militer dari Rusia dan Iran, tetapi kedua negara menolak memberikan intervensi langsung. Dalam pertemuan di Moskow pada 28 November, Kremlin hanya menawarkan bantuan diplomatik, sementara fokus utama Rusia adalah situasi di Ukraina. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memimpin upaya untuk menjamin keselamatan Assad, termasuk berkoordinasi dengan Qatar dan Turki untuk memastikan pelariannya berlangsung tanpa hambatan.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi pada 2 Desember, Assad mengakui bahwa kekuatan militernya tidak cukup untuk melawan, meskipun ia tidak meminta bantuan militer Iran karena khawatir akan memicu serangan Israel.
Akhir Kekuasaan Keluarga Assad
Dengan kepergiannya, Assad mengakhiri kekuasaan keluarganya yang dimulai oleh ayahnya, Hafez al-Assad, pada tahun 1971. Hadi al-Bahra, pemimpin oposisi utama Suriah di luar negeri, menyebut kepergian Assad sebagai bukti pengkhianatan terhadap para pendukungnya. Perdana Menteri terakhir Assad, Mohammed Jalali, mengungkapkan bahwa dalam percakapan terakhirnya, Assad hanya berkata, “Besok kita akan lihat.”
Pelarian Assad menutup babak perang saudara yang berlangsung selama 13 tahun, meninggalkan Suriah dalam keadaan hancur. Sementara pemberontak merayakan kemenangan, tantangan besar menanti dalam upaya rekonstruksi dan pemulihan stabilitas negara tersebut.
Kini, dengan Assad yang berada di pengasingan di Moskow, masa depan politik Suriah tetap menjadi teka-teki besar. Bagaimana negara ini akan bangkit dari kehancuran perang menjadi pertanyaan utama di tengah masyarakat internasional.
Komentar