“An object will remain at rest or in uniform motion unless acted upon by a net external force.” – Newton’s First Law of Motion
JurnalPatroliNews – Jakarta – Pesan dari forum Indonesia International Infrastructure Conference (ICI) 2025 hari kedua menegaskan sebuah kenyataan: laju pembangunan infrastruktur nasional saat ini belum mencerminkan urgensi transformasi yang diharapkan.
Kita sudah punya cetak biru, arah strategis, dan komitmen politik—semuanya dapat disebut sebagai “gaya”. Namun, seperti kata Newton, tanpa “massa” yang memadai—dalam hal ini sistem pembiayaan yang kuat—percepatan tak akan terjadi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, kebutuhan pendanaan infrastruktur nasional hingga 2029 mendekati angka fantastis, yaitu Rp10.000 triliun. Sayangnya, anggaran negara (APBN) hanya mampu menutup sekitar 40% dari kebutuhan itu. Upaya melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) pun baru menyentuh angka usulan Rp1.905 triliun dari Kementerian PUPR, dengan realisasi yang masih jauh dari harapan.
Ada jurang pendanaan yang menganga sebesar Rp7.000 hingga Rp8.000 triliun. Jurang ini tidak bisa dijembatani dengan pendekatan biasa. Dibutuhkan terobosan struktural dan sistem pembiayaan yang disesuaikan dengan realitas proyek-proyek infrastruktur.
Berdasarkan pengalaman lebih dari satu dekade mengelola proyek strategis nasional, saya menyimpulkan: stagnasi pembangunan bukan semata-mata karena buruknya manajemen atau minimnya minat investor, melainkan karena tidak sinkronnya desain pembiayaan dengan karakteristik unik sektor infrastruktur.
Biaya bunga pinjaman terlalu tinggi, masa pinjaman terlalu pendek, dan persepsi risiko terlalu besar. Padahal, infrastruktur tidak sekadar aset fisik—ia adalah fondasi sosial dan ekonomi jangka panjang. Namun nilai sosial ini sering tak tercermin dalam model investasi konvensional.
Menko Perekonomian dan Investasi Agus Harimurti Yudhoyono turut menegaskan bahwa Indonesia menghadapi tekanan waktu dari tiga sisi sekaligus: demografi, ekonomi, dan lingkungan hidup. Ketiganya menuntut percepatan pembangunan yang tidak bisa ditunda. Tapi percepatan itu hanya mungkin jika kita memiliki fondasi finansial yang tangguh.
Dari sinilah muncul urgensi pendirian sebuah Bank Infrastruktur Nasional—lembaga pembiayaan publik yang tidak bergantung pada logika pasar semata, tapi berdiri atas dasar visi strategis negara. Lembaga seperti ini bisa memberikan pembiayaan jangka panjang dengan bunga rendah, skema blended finance, jaminan pemerintah, hingga fasilitas penyusunan proyek. Institusi ini akan berperan sebagai katalis, bukan hanya penyalur dana.
Komentar