Desa Terpencil Ini Masih Gunakan Bahasa Nabi Isa, Dunia Tak Percaya!

JurnalPatroliNews – Jakarta – Di sebuah desa kuno bernama Maaloula, sekitar 60 kilometer dari ibu kota Damaskus, Suriah, gema bahasa kuno yang diyakini digunakan oleh Nabi Isa (Yesus) masih terdengar hingga hari ini. Warga desa ini mempertahankan bahasa Aram atau yang dalam dialek lokal disebut Neo-Aram Barat sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, meski ancaman kepunahan mengintai akibat konflik berkepanjangan.

Maaloula adalah satu dari segelintir tempat di dunia di mana warisan linguistik masa lampau itu masih bertahan hidup. Bagi Ryad Wehbi, pemilik toko serba ada di desa itu, bahasa Aram bukan sekadar alat komunikasi, melainkan bagian dari identitas dan sejarah yang diwarisi secara turun-temurun.

“Kami bicara Aram setiap hari. Di rumah, di toko, bahkan saat ada yang bicara Arab, saya tetap menjawab dalam Aram,” ujar Wehbi.

Bahasa ini tidak lagi digunakan secara luas di Timur Tengah modern, namun di Maaloula, serta desa-desa tetangganya Jabadeen dan Bakha ia masih bertahan. Sekitar sepertiga penduduknya beragama Kristen dan sisanya Muslim Sunni. Meskipun dominasi penutur Aram ada di kalangan Kristen, beberapa Muslim juga menggunakannya.

Maaloula dulunya terisolasi. Letaknya di antara tebing dan pegunungan membuat interaksi dengan dunia luar terbatas, yang turut berkontribusi dalam pelestarian bahasa kuno tersebut. Namun, kedamaian itu terguncang ketika konflik sipil Suriah meletus.

Luka Perang dan Ancaman Kepunahan Budaya

Tahun 2013 menjadi titik kelam bagi Maaloula. Kelompok pemberontak bersenjata, termasuk faksi Front Al-Nusra, mengambil alih desa ini. Warga terpaksa mengungsi, dan rumah-rumah ibadah ikut hancur dalam pertempuran.

“Tak satu pun dari kami tinggal di sini selama hampir sembilan bulan,” kenang Wehbi, menggambarkan situasi mencekam saat itu.

Pasukan pemerintah yang didukung milisi Hizbullah akhirnya merebut kembali desa ini. Meskipun sebagian penduduk telah kembali, banyak bangunan belum pulih. Menara masjid yang rusak dan gereja terbakar menjadi saksi bisu trauma masa lalu.

Pendeta Jalal Ghazal dari salah satu gereja setempat mengungkapkan keprihatinannya tentang hilangnya rasa aman. Tak ada lagi aparat yang berjaga, dan senjata milik polisi setempat bahkan dijarah saat kekacauan.

“Kami sudah menyurati pemerintahan baru agar melindungi kami,” katanya, berharap rezim yang kini dipimpin Ahmed Al Sharaa lebih peduli terhadap komunitas Kristen dan pelestarian bahasa Aram.

Harapan Hidup dari Bahasa yang Nyaris Mati

Meskipun menurut para ahli seperti Dominique Gonnet dari Masyarakat Studi Suryani di Paris, bahasa yang digunakan warga Maaloula bukan Aram Kuno yang digunakan oleh Yesus secara persis, melainkan versi modern yang disebut Neo-Aram Barat, namun kemiripannya tetap tinggi.

“Bahasa ini memang bukan kelanjutan langsung dari Aram di zaman Yesus, tapi merupakan cabang paling dekat dengan itu yang masih hidup,” jelas Gonnet.

Kini, upaya untuk menghidupkan kembali semangat dan bahasa kuno terus dilakukan. Pastor Fadi Bargeel dari Gereja Santo Sergius dan Bacchus menjadi salah satu garda terdepan. Ia mendorong generasi muda agar tetap menggunakan bahasa Aram di rumah.

“Saat bayi lahir, mereka belajar bahasa Aram lebih dulu. Bahasa Arab baru mereka pelajari saat masuk sekolah,” katanya sambil menyalakan lilin di altar gereja yang rusak.

Di tengah puing-puing dan jejak konflik, suara anak-anak yang masih bercakap dalam bahasa Aram memberikan harapan. Sebuah harapan bahwa meski kota itu porak poranda, warisan kuno yang mereka peluk erat selama ribuan tahun akan terus bernapas.

Komentar