Ekonom: AS Bukan Pengusung Pasar Bebas, Proteksionisme Sudah Jadi Watak Asli

JurnalPatroliNews – Jakarta – Kebijakan tarif resiprokal yang digulirkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bukanlah gertakan politik semata. Langkah tersebut justru mencerminkan karakter ekonomi Amerika yang sejak lama cenderung proteksionis.

Anthony Budiawan, Direktur Eksekutif Political Economy and Policy Studies (PEPS), menegaskan bahwa kebijakan tersebut harus dilihat dari perspektif sejarah ekonomi AS. Ia mengingatkan negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia, agar tidak menyepelekan arah kebijakan Trump yang kini kembali menerapkan pendekatan tarif terhadap negara-negara seperti China, bahkan terhadap sekutu-sekutu lama seperti Uni Eropa, Kanada, Jepang, dan Inggris.

“Siapa pun yang menganggap Trump hanya menggertak dalam urusan tarif, sebaiknya berpikir ulang. Sejarah bisa menjadi panduan penting untuk meraih hasil terbaik dalam negosiasi dagang dengan AS,” ujar Anthony dalam pernyataan tertulis yang diterima Rabu, 14 Mei 2025.

Anthony menjelaskan bahwa penerapan tarif impor secara luas pada awal April 2025 menjadi bukti keseriusan pemerintahan Trump dalam menerapkan kebijakan perdagangan yang protektif. Meskipun sempat dipandang sebelah mata oleh sebagian pihak, langkah tersebut sebenarnya konsisten dengan tradisi panjang ekonomi AS yang tidak pernah sungguh-sungguh menganut sistem pasar bebas.

“Amerika sejak awal tidak pernah punya ‘DNA’ pasar bebas. Justru dari awal berdiri, AS menganut sistem ekonomi protektif ala merkantilisme,” ujarnya.

Ia menyinggung peran tokoh pendiri sistem keuangan AS, Alexander Hamilton, yang pada akhir abad ke-18 sudah mendorong kebijakan tarif tinggi dan subsidi industri lokal sebagai strategi membangun kekuatan ekonomi dalam negeri. Laporan Hamilton tahun 1790, Report on Manufactures, menjadi tonggak awal kebijakan ekonomi tertutup AS.

Menurut Anthony, sepanjang abad ke-19, tarif impor AS sempat menyentuh angka di atas 60 persen dan menimbulkan konflik internal seperti krisis tarif Carolina Selatan serta menjadi salah satu latar belakang Perang Saudara tahun 1861.

Namun di sisi lain, pendekatan proteksionis ini membawa hasil. AS tumbuh menjadi kekuatan industri dan militer terdepan dunia setelah Perang Dunia II. Penurunan tarif pascaperang lebih dilandasi semangat solidaritas untuk pemulihan global, namun juga menyebabkan defisit perdagangan yang terus berlangsung sejak 1970-an.

Kebijakan Trump untuk menghidupkan kembali model proteksi, menurut Anthony, adalah respons atas ketimpangan tersebut. Trump ingin mengoreksi defisit melalui kebijakan tarif yang lebih ketat, bukan karena semata-mata motif politik, melainkan sebagai strategi ekonomi jangka panjang.

“Jika dibandingkan dengan era tarif tinggi di masa Presiden Andrew Jackson, Morrill, atau McKinley, kebijakan Trump tergolong moderat,” imbuhnya.

Ia menyebut langkah Trump sebagai cerminan sikap khas Partai Republik, yang cenderung membela kepentingan nasional dengan tegas, terutama melalui kebijakan ekonomi tertutup.

Penurunan tarif selektif yang mulai diberlakukan terhadap beberapa negara, termasuk China, kata Anthony, jangan dimaknai sebagai pelunakan sikap, melainkan bagian dari strategi negosiasi agar mitra dagang menunjukkan sikap saling menghormati dan adil.

“Partai Republik dikenal lebih agresif dalam menjaga kepentingan nasional. Trump hanyalah bagian dari arus politik yang lebih besar,” pungkas Anthony.

Komentar