Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly

Mahfud mengapresiasi komitmen verbal Presiden Prabowo terhadap pemberantasan korupsi. Namun ia menekankan bahwa retorika tidak cukup tanpa tindakan konkret terhadap praktik korupsi yang melibatkan oligarki.

“Pidato Presiden soal anti korupsi patut dihargai. Tapi jika berhadapan dengan oligarki, komitmen itu seringkali mandek. Kasus Pertamina adalah contohnya. Korupsi senilai hampir Rp 930 triliun tidak bergerak karena mafia minyak besar ada di belakangnya” pungkas Mahfud.

Direktur Tempo Media Group, Budi Setyarso, menegaskan bahwa tantangan terhadap kebebasan pers saat ini tidak hanya dapat dilihat dalam enam bulan masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melainkan merupakan fenomena yang telah berlangsung selama beberapa waktu terakhir.

Menurutnya, semua penguasa pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak menghendaki pers yang benar-benar bebas karena merasa tidak nyaman ketika media menyuarakan realitas di lapangan secara jujur. Ia mengingatkan publik pada peristiwa Malari tahun 1974 di masa Presiden Soeharto, di mana 12 media dibredel karena memberitakan kerusuhan yang dianggap mengganggu stabilitas nasional. Bahkan situasi serupa terasa kembali terjadi saat ini.

“Kebebasan pers tidak hanya diperjuangkan oleh insan pers, tapi juga oleh masyarakat sipil. Itu yang terjadi pada tahun 1998. Tanpa pers yang bebas, tidak akan ada pemerintahan yang baik (good governance)” ujarnya.

Budi juga menyinggung bagaimana Tempo dan media lainnya pernah ditutup pada tahun 1994 karena pemberitaan yang dianggap mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun berkat tekanan dari mahasiswa dan masyarakat sipil, Tempo akhirnya kembali terbit pada 1998. Dalam refleksinya terhadap pemerintahan saat ini, Budi menilai bahwa kebutuhan akan pers yang bebas semakin mendesak, mengingat pemerintahan yang terbentuk saat ini berangkat dari proses politik yang menyakiti konstitusi, sehingga peran media sebagai pengawas kekuasaan menjadi sangat penting.

Ia juga mengungkapkan bahwa ruang-ruang publik untuk menyuarakan pandangan berbeda dalam pembentukan kebijakan semakin menyempit. Hal itu, menurutnya, terlihat dari merapatnya PDIP ke lingkaran kekuasaan dan penggunaan platform oleh negara untuk membungkam kritik, salah satunya dengan mendegradasi suara-suara oposisi, sebagaimana yang terjadi saat isu Taliban KPK mencuat pada 2019.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, Budi menyoroti kasus Nazaruddin di era Presiden SBY, yang mengkorupsi proyek laboratorium kesehatan dan sektor pendidikan. Tempo, menurutnya, turut andil mengungkap berbagai pelanggaran tersebut sebagai bagian dari komitmennya terhadap kebenaran dan keadilan.

“Ruang redaksi harus diberikan kebebasan penuh untuk menentukan arah dan kebijakan editorialnya. Apalagi di tengah tantangan ekonomi dan tekanan politik yang makin kuat. Beruntung, di Tempo kami tetap menjaga nilai-nilai idealisme jurnalisme” tegas Budi.

Komentar