Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti kondisi perekonomian Indonesia yang tengah menghadapi tekanan berat, baik dari faktor eksternal maupun dinamika internal, meskipun pemerintah telah berupaya menjaga stabilitas. Menurut Wijayanto, perekonomian fiskal tahun ini mengalami tekanan signifikan, tercermin dari penurunan sebesar 16,7% pada kuartal pertama dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Penurunan ini menunjukkan tantangan fiskal yang nyata, terlebih dengan hilangnya pemasukan dari dividen BUMN yang dialihkan ke Lembaga Pengelola Investasi (Indonesia Investment Authority)” ujarnya.

Di sisi pengeluaran, target memang telah tercapai, namun ia mengingatkan agar pemerintah tetap berhati-hati karena masih banyak program yang belum dijalankan secara optimal. Wijayanto juga menyoroti dinamika nilai tukar rupiah yang mengalami pelemahan terhadap mayoritas mata uang dunia. “Kita cenderung lupa bahwa dolar AS sedang menurun secara global. Tapi rupiah justru melemah terhadap 78% mata uang dunia dalam satu bulan terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia dalam mengelola utang sudah berkembang, namun tetap harus dicermati dengan seksama” katanya.

Selain itu, ia menilai Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi dini yang semakin diperparah oleh fenomena *economic financialization*, yang menyebabkan sistem ekonomi menjadi kurang efisien. “Ini membuat struktur ekonomi kita rapuh dan tidak mendukung pertumbuhan sektor riil” tambahnya.

Persoalan daya beli masyarakat juga menjadi isu krusial, terutama dengan meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilaporkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. “Jumlah anggota BPJS Ketenagakerjaan yang masuk kategori siap kerja sangat jauh dari harapan. Di sisi lain, outstanding pinjaman online (pinjol) meningkat dibandingkan tahun lalu, namun nilai tukar rupiah justru turun signifikan, terutama saat periode Lebaran” jelas Wijayanto.

Mengomentari faktor eksternal, Wijayanto mengingatkan bahwa kebijakan dagang Presiden Donald Trump saat masa jabatannya masih menimbulkan efek berkelanjutan. Ia menyebut banyak pihak yang meyakini perang dagang yang dimulai Trump akan diikuti oleh berbagai bentuk ‘perang’ lainnya, seperti yang terjadi saat krisis COVID-19 di mana situasi tersebut dimanfaatkan oleh pihak tertentu dan dijadikan kambing hitam.

“Persepsi bahwa Trump dan tokoh seperti Elon Musk takut AS bangkrut secara fiskal juga sering kali tidak akurat. Bahkan, kita bisa melihat bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin, tidak tunduk pada tekanan Trump, menandakan bahwa pengaruh Trump tidak sekuat yang dibayangkan” pungkasnya.

Dengan berbagai tantangan ini, Wijayanto menegaskan pentingnya konsolidasi kebijakan ekonomi nasional yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan global dan domestik, guna menjaga daya tahan ekonomi Indonesia ke depan.

Komentar