Sedangkan di Lamudi, penawaran SPBU yang dijual lebih banyak lagi, misalnya di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta dengan SPBU yang dilego dengan harga Rp60 miliar.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), Rachmad Muhamadiyah menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi hanya karena faktor bisnis saja.
Terlebih, saat pandemi lalu semua bisnis terkena imbasnya, termasuk SPBU sekaligus para pemiliknya.
“Itu karena bisnis saja mungkin, seperti faktor lokasi dan persaingan dengan adanya SPBU-SPBU yang baru lebih menarik,” sebut Rachmad kepada rekan media.
Rachmad juga mengatakan bahwa ada juga faktor pemilik SPBU memiliki bisnis lain, tapi bisnis lainnya belum bisa bangkit dari efek pandemi sehingga butuh cash flow atau dana segar dengan menjual SPBU.
Hal itu dilakukan juga untuk kepentingan kewajiban ke perbankan atau yang lainnya.
“Dari informasi Pertamina, pengajuan baru masih terus bertambah, artinya SPBU masih ada peminatnya,” katanya.
Alasan Dijual
Dari sudut pandang properti, Head of Advisory Services Colliers International Indonesia, Monica Koesnovagril mengungkapkan bahwa bisnis SPBU bukan berarti strategi yang paling cuan, khususnya dengan lokasi yang begitu strategis. “SPBU sebenarnya supply dan demand. Banyak SPBU lokasinya di tengah kota yang harga tanahnya sudah mahal. Bicara Jakarta, KLB (Koefisien Lantai Bangunan) sudah pada naik, jadi secara konsep optimalisasi lahan akan lebih optimal untuk dibangun yang lebih high-rise,” ungkap Monica kepada rekan media
Bangunan high-rise, seperti apartemen atau perkantoran memang lebih banyak membutuhkan modal. Namun, perputaran uangnya bisa jadi lebih cepat mengingat strategisnya lokasi SPBU yang bersangkutan. “Lebih ke supply-demand. Nanti harus dipertimbangkan lagi demand-nya ada enggak? Atau seberapa besar ini lahannya, banyak hal dipertimbangkan. Tapi kalau berdasar ‘oh, sekarang harganya sudah mahal, KLB sudah tinggi, jadi rasanya kok sayang cuma dipakai buat SPBU’,” kata Monica.
Komentar