JurnalPatroliNews – Jakarta – Fenomena pergantian atau mutasi pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) kerap menjadi sorotan pasca pelantikan kepala daerah baru. Meski mutasi adalah hal lumrah sebagai bagian dari pembenahan birokrasi, namun penggantian pejabat yang didasarkan pada alasan balas jasa politik atau percepatan pembangunan kerap memicu polemik dan menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Pengamat hukum administrasi negara yang juga mantan Asisten Komisioner ASN, IGN Agung Y. Endrawan, menegaskan bahwa setiap keputusan terkait mutasi pejabat wajib mematuhi aturan yang telah diatur dalam Undang-Undang ASN dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. “Setiap keputusan harus dilandasi prinsip legalitas, yang berarti prosedur pengambilan keputusan harus jelas, memiliki dasar hukum yang kuat, substansi yang benar, serta kewenangan yang sah,” ujar Agung, kepada JurnalPatroliNews, Jumat (16/5/05).
Selain prinsip legalitas, Agung juga menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap ASN. Perlindungan tersebut diperlukan agar ASN terbebas dari tekanan politik, perlakuan tidak adil, dan kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, menurutnya, keputusan penggantian pejabat yang didasarkan hanya pada kepentingan politis atau balas jasa politik bisa dikategorikan sebagai keputusan cacat hukum, karena melanggar prinsip-prinsip dasar administrasi pemerintahan yang baik (AUPB).
“Prinsip AUPB mencakup kepastian hukum, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, tidak berpihak, keterbukaan, serta pelayanan yang baik. Jika salah satu prinsip tersebut tidak terpenuhi, maka keputusan mutasi tersebut sangat mungkin menjadi bermasalah secara hukum,” tambahnya.
Kepala daerah memang memiliki kewenangan sebagai pejabat pembina kepegawaian untuk melakukan mutasi, promosi, maupun pemberhentian ASN. Namun, kewenangan ini harus dilaksanakan secara profesional dan obyektif, berdasarkan kompetensi, rekam jejak, serta kinerja pegawai, bukan atas pertimbangan subjektif seperti balas jasa atau kepentingan kelompok tertentu.
Lebih lanjut, Agung mengingatkan agar tidak terjadi dualisme dalam kepemimpinan jabatan tertentu. “Tidak boleh ada dua pejabat dalam satu jabatan, karena itu jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum. Selain itu, praktik mencari-cari kesalahan pejabat agar dapat digantikan juga tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan prinsip negara hukum,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Agung menyarankan agar pengawasan terhadap mutasi ASN harus diperkuat, dilakukan secara tegas, adil, dan objektif, demi menjamin terlaksananya tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Pengawasan juga tidak boleh terjebak pada budaya “ewuh pakewuh” atau hanya mendengar dari satu pihak yang sedang memegang kekuasaan. Penting bagi pengawas untuk mendengar dan menilai secara seimbang dari semua pihak yang terkait agar keputusan yang diambil benar-benar objektif dan adil.
“Sangat penting bagi kepala daerah untuk senantiasa mengingat dan menjunjung tinggi sumpah jabatan yang telah diucapkan, dengan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan, sehingga tidak mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” tutup Agung
Komentar