JurnalPatroliNews – Jakarta –Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, menyatakan bahwa industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia sudah memasuki fase penurunan atau “sunset” tanpa perlu ada tambahan aturan ketat dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Hal ini terlihat dari kontribusi IHT terhadap PDB yang terus menurun. Pada 2010, kontribusi IHT terhadap PDB mencapai 0,98%, namun pada 2023 turun menjadi 0,71%. Meski demikian, IHT masih memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara, mencapai Rp318 triliun pada 2023.
“Tanpa regulasi lebih ketat pun, industri tembakau ini sudah sunset. Kontribusi terhadap PDB menurun drastis dari 0,98% pada 2010 menjadi 0,71% pada 2023. Meski demikian, industri ini masih signifikan bagi penerimaan negara,” ujar Tauhid dalam acara CNBC Indonesia Coffee Morning di Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Menurut Tauhid, meski kesehatan masyarakat harus dijaga, mencari keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan keadilan bagi industri tembakau adalah tantangan tersendiri. Ia menambahkan bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), pengaturan industri tembakau tidak terlalu kuat, meskipun terdapat peraturan terkait pengendalian produksi, konsumsi, dan distribusi produk tembakau.
Sementara itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bahkan tidak menyebutkan secara spesifik industri hasil tembakau, menciptakan kekosongan kebijakan di sektor ini.
Tauhid juga memperingatkan bahwa aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur jumlah kemasan, pemajangan produk, dan iklan rokok dapat berdampak signifikan pada sektor tembakau.
Ia memperkirakan, jika aturan ini diterapkan, pertumbuhan ekonomi bisa turun hingga minus 0,53%, penerimaan perpajakan bisa turun hingga 52,8%, dan tenaga kerja di industri rokok bisa berkurang hingga 10,08%.
Ia mengimbau agar ada diskusi lebih lanjut antara kementerian terkait sebelum regulasi ini diberlakukan, mengingat dampaknya yang luas terhadap sektor ekonomi dan tenaga kerja.
Komentar