Ini Rahasianya, Dari Mana Organisasi Papua Merdeka Dapat Senjata !

Jurnalpatrolinews – Jayapura : Pasukan gerilya yang berperang untuk kemerdekaan di Papua Barat mengungkapkan pengakuan mencengangkan baru-baru ini. Menurutnya, suplai senjata yang digunakan untuk berperang dibeli dari para tentara Indonesia.

Baku hantam TNI dan kelompok bersenjata Papua yang menewaskan pendeta hingga aparat militer belakangan, menimbulkan satu pertanyaan genting. Jika TNI mendapat senjata resmi dari pemerintah, dari mana sumber senjata yang digunakan pejuang kemerdekaan Papua ini?

Salah satu sumber senjata Organisasi Papua Merdeka atau OPM konon didapat dari militer Indonesia sendiri. Pernyataan itu pertama kali terlontar pada 2018 oleh Mayor Jenderal G. Lekkagak Telenggen, sesaat setelah ia dilantik menjadi Kepala Staf Operasi Pusat Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Dari penelusuran VIVA di situs dan akun resmi TPNPB, ternyata OPM tak hanya memiliki senjata laras jenis AK 47, M1, M14 hingga SS1 saja, melainkan senjata modern jenis senapan serbu mesin Steyr Universal Army Rifle (AUG).

Media itu melansir Gardanasional.id, Steyr AUG merupakan senjata canggih untuk digunakan dalam perang kota. Steyr AUG telah dikembangkan sejak akhir 1960-an oleh perusahaan Steyr-Daimler-Puch Austria untuk Angkatan Darat mereka. Senjata serbu ini sendiri telah diadopsi pada 1977 sebagai StG.77. Produksi massalnya sendiri baru dimulai setahun berselang, untuk menggantikan senapan serbu StG.58 yang sudah usang dan merupakan versi lisensi dari FN FAL.

Masih menurut catatan VIVA, sejak diperkenalkan, AUG mendapatkan popularitas yang cukup tinggi. Senjata ini diadopsi sejumlah negara. Di Australia, mereka diproduksi dengan lisensi sebagai Lithgow F88, yang biasa dikenal dengan nama Austeyr. AUG dapat dianggap sebagai desain bullpup yang paling sukses secara komersial sampai saat ini. Itu masuk akal, mengingat, Steyr AUG memiliki kaliber standar NATO 5.56×45 mm. Senjata ini dianggap revolusioner dalam banyak hal, termasuk keandalan, ergonomi, dan akurasi yang layak.

Di samping mempunyai senjata serbu modern, TPNPB pun mengklaim memiliki pasukan elite. Pasukan ini merupakan penembak jitu yang sedia membunuh lawan. Merujuk pada foto yang disiarkan TPNPB, sniper yang dimaksud terang-terangan membopong senjata penembak jarak jauh, lengkap dengan pakaian penyamaran laiknya tentara kebanyakan.

Berdasarkan pengakuan Lekkagak, mereka mendapatkan senjata-senjata itu dengan cara merampasnya dari prajurit TNI dan personel Polri.

“Musuh kami adalah TNI Polri, jadi pasukan TPNPB yang tembak TNI, senjata sudah jadi milik kami. Senjata dan amunisi TNI Polri itu gudang senjata kami, dan senjata yang sudah rampas tidak akan kembalikan, itu sudah menjadi milik TPNPB,” kata Lekkagak.

Hal itu dibenarkan seorang komandan daerah dataran tinggi Tentara Pembebasan, Brigadir Jenderal Egianus Kogeya. Ia sendiri mengaku, kalaupun tak merampas, para pejuang OPM telah membeli senjata dan amunisi dari militer dan polisi Indonesia.

Pejuang Kogeya telah mengklaim bertanggung jawab atas banyak serangan mematikan dalam dua tahun terakhir, termasuk pembantaian setidaknya sembilan belas pekerja konstruksi jalan Indonesia di Nduga pada Desember 2018.

Menurut Suara Papua, Kepala Polisi Papua, Paulus Waterpauw menuturkan, sirkulasi senjata api dan amunisi tetap menjadi perhatian serius bagi pasukan keamanan, terutama di Kepolisian Daerah Papua.

Militer atau TNI juga telah mengenali polanya. Pada Februari, sebuah pengadilan militer di Jayapura memenjarakan tiga anggota TNI karena telah memasok amunisi kepada kelompok-kelompok kriminal bersenjata di Papua. Salah satu terpidana dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Kogeya sendiri menerangkan, dia harus membeli amunisi dan senjata dari TNI dan Polisi karena itu adalah cara mereka mengakses makanan saat ditempatkan di Papua.

Menurutnya, biasanya pasukan keamanan terhubung dengan Tentara Pembebasan untuk penjualan senjata dengan berkomunikasi melalui bawahan di lapangan.

Setelah disetujui oleh atasan mereka, transaksi dilanjutkan, kata Kogeya,

Pasukan Pembebasan Papua Barat mengaku telah membeli senjata dari militer Indonesia, lapor Radio New Zaeland.

“Kami beli karena kami butuh, dan mereka jual karena mereka mau dapat makan dari mana (kalau tidak jual amunisi dan senjata),” bebernya.

“Anggota yang di dalam itu mereka yang jual. Kalau anak buah itu mereka kirim. Kami beli karena kami butuh untuk perjuangan kami,” ungkapnya lagi, dinukil dari Suara Papua.

Kalau untuk senjata, kata Egianus, sama juga dengan pola jual beli amunisi ke pihaknya.

“Yang lain kami beli, tetapi yang lain kami rampas saat baku kontak dengan TNI dan Polri,” ungkapnya lagi.

Praktik jual beli senjata dari milisi Papua dari TNI ini bukan hal baru. Menurut Khairul Fahmi dari Institute For Security and Strategic Studies, jual beli senjata api, terutama di daerah konflik seperti di Papua tercipta karena kebutuhan bersama.

“Keterlibatan oknum TNI dalam transaksi senjata api di Papua tidak cukup mengherankan. Itu bukanlah sesuatu yang ideologis. Ada kebutuhan, dana tersedia, komunikasi berjalan, kebutuhan tersedia, maka deal,” kata Fahmi, dilansir dari media yang sama.

Meski begitu, tentu saja, hal demikian tak dapat dibenarkan, tambah Fahmi.

“Ini menunjukkan tingkat disiplin dan loyalitas sejumlah oknum anggota TNI kita masih dapat dikalahkan dengan uang. Meski saya juga menduga, ada aspek lain yang harus diperhatikan seperti kemungkinan ada paksaan atau bahkan perintah dari oknum yang berpangkat jauh lebih tinggi.”

Pada 2 Febuari 2020 lalu, Pengadilan militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel M. Idris di Jayapura telah memecat dan menjatuhi hukuman penjara kepada tiga anggota TNI yang terbukti memasok ribuan butir amunisi kepada kelompok kriminal bersenjata di Papua.  (matpol)

Komentar