JurnalPatroliNews – Jakarta – Kejaksaan Agung saat ini tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan laptop oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada rentang tahun 2020 hingga 2022. Anggaran proyek tersebut mencapai hampir Rp10 triliun.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan dukungan atas langkah hukum yang diambil Kejagung. Peneliti ICW, Almas Sjafrina, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyoroti keanehan dalam proyek ini sejak 2021, termasuk mendesak agar Kemendikbud melakukan evaluasi ulang rencana pengadaan di tengah situasi pandemi COVID-19.
Proyek Laptop Sarat Masalah Sejak Awal
Menurut Almas, pengadaan laptop dan perangkat teknologi informasi lainnya saat pandemi tidak termasuk dalam kebutuhan mendesak sektor pendidikan. Selain itu, penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk proyek tersebut dianggap menyalahi aturan, terutama Perpres No. 123 Tahun 2020 yang mensyaratkan usulan anggaran dilakukan secara berjenjang dari bawah (bottom-up), bukan berdasarkan program kementerian secara sepihak.
Ia juga menyoroti bahwa pada saat itu belum ada informasi transparan mengenai daftar sekolah penerima bantuan, serta pengadaan tidak tercatat dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP), menimbulkan kecurigaan atas proses yang tertutup.
Spesifikasi Tak Relevan dan Potensi Persaingan Usaha Tak Sehat
Spesifikasi laptop yang dipatok harus menggunakan sistem operasi (OS) Chromebook dinilai tidak relevan untuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), yang minim infrastruktur internet. Padahal, OS ini sangat tergantung pada koneksi internet untuk berfungsi optimal.
“Padahal sudah ada uji coba sebelumnya pada 2019 yang menyimpulkan bahwa Chromebook tidak efisien. Tapi justru spesifikasi itu ditegaskan dalam Permendikbud No. 5 Tahun 2021,” jelas Almas.
ICW juga menilai adanya pembatasan pasar secara tidak langsung, karena hanya beberapa perusahaan saja yang memenuhi syarat untuk menjadi penyedia. Enam perusahaan yang disebut meliputi Zyrex, Supertone, Evercoss, Acer, Axio, dan Advan. Situasi ini dinilai bertentangan dengan semangat anti-monopoli dalam UU No. 5 Tahun 1999.
Pengadaan Dipaksakan, Potensi Korupsi Menguat
Lebih lanjut, Almas menduga ada indikasi persekongkolan dalam pengambilan keputusan. “Ketika pengadaan tidak sesuai kebutuhan dan terlihat dipaksakan, biasanya berpotensi terjadi korupsi. Entah itu lewat mark-up harga, imbalan kepada penyedia, hingga pungutan liar saat distribusi,” katanya.
Peneliti Kopel Indonesia, Anwar Razak, mendukung Kejagung untuk menggali lebih dalam kasus ini. Ia menekankan bahwa pengusutan tidak boleh berhenti pada staf khusus menteri saja, karena mereka bukan pengambil keputusan utama dalam pengadaan.
“Dalam proyek senilai lebih dari Rp200 juta, peran sentral ada pada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Maka penyidik harus juga memeriksa PPK, kuasa pengguna anggaran, bahkan Nadiem Makarim sebagai pengguna anggaran,” tegas Anwar.
Ia juga mendesak Kejagung agar membeberkan secara rinci bentuk dugaan korupsi serta potensi kerugian negara. Sementara itu, Kemendikbud diminta untuk membuka informasi kepada publik tentang capaian program digitalisasi pendidikan dari tahun 2019 hingga 2024.
Kejagung Geledah dan Telusuri Jejak Stafsus Nadiem
Penyidikan Kejagung telah berkembang dengan pemeriksaan terhadap 28 saksi. Tiga mantan staf khusus Menteri Nadiem juga ikut disorot, termasuk FH, JT, dan I (Ibrahim). Beberapa properti pribadi mereka, seperti apartemen dan perangkat elektronik, telah disita sebagai barang bukti.
“Ibrahim adalah staf khusus yang merangkap sebagai tim teknis. Barang bukti seperti ponsel dan laptop miliknya sudah kami amankan,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus, Harli Siregar.
Meski telah dipanggil berkali-kali, tiga eks stafsus tersebut belum juga memenuhi panggilan. Kejagung membuka kemungkinan akan memanggil langsung mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dalam waktu dekat.
Komentar