Keluarga Korban Paniai Berdarah Angkat Bicara Setelah 6 Tahun Berlalu

Jurnalpatrolinews – Enarotali : Kasus Paniai Berdarah menewaskan empat siswa SMA di antaranya Alpius Youw (18 tahun), Yulianus Yeimo (17 tahun), Apinus Gobai (16 tahun), Simon Degei (17 tahun), dan 17 orang yang menjadi korban luka tembak oleh pasukan gabungan militer Indonesia itu hingga kini masih jadi sorotan publik di dunia internasional.

Kini memasuki enam tahun tidak ada tanda-tanda penuntasan sebagaimana yang diungkapkan Presiden Jokowi pada Natal Nasional 27 Desember 2014 silam di stadion Mandala Jayapura. Berbagai pihak berharap agar Pemerintah Indonesia bisa mengungkapkan tragedi yang tidak akan bisa dilupakan ini.

Pada kesempatan ini, pihak keluarga korban didampingi oleh Gereja Katolik Keuskupan Timika yang diwakili SKP Dekenat Paniai dan GKI Kingmi Papua koordinator Paniai menyerukan kepada Pemerintah Indonesia, bahwa pihaknya menolak segala bentuk penyelidikan negara Republik Indonesia terhadap korban, para saksi, dan korban luka-luka kasus Paniai. Pihaknya mengungkapkan alasan penolakan atas segala bentuk penyelidikan dari Negara Republik Indonesia atas peristiwa pelanggaran HAM Berat di Paniai, karena Negara Republik Indonesia tidak pernah mengumumkan para pelaku sejak 2014 hingga 2020 ini.

“Kami memohon dengan hormat Komnas HAM Indonesia, TNI, dan Polri sekarang segera umumkan para pelaku berdasarkan hasil investigasi yang anda lakukan sejak peristiwa itu terjadi pada 2014 hingga 2020 ini, untuk mengungkapkan kepastian dan kebenaran kasus pelanggaran HAM berat di Paniai ini,” ujar SKP Dekenat Paniai, P. Santon Tekege, Pr Jumat (11/12/2020).

Pihaknya juga mendesak kepada Pemerintah Indonesia agar dapat mengizinkan Pelapor Khusus PBB atau Komisi HAM PBB masuk ke Papua, khususnya di Paniai. “Presiden Negera Republik Indonesia perintahkan Kepala Kapolri untuk usut tuntas kasus pelanggaran HAM Berat Paniai,” ucapnya.

Penolakan keluarga korban, para saksi, dan pimpinan Gereja Katolik dan Kingmi di Paniai berdasarkan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang belum teratasi, seperti pelanggaran HAM berat di Wamena. Selain itu, sudah 14 tahun lebih tim penyelidikan Komisi HAM Republik Indonesia atas kasus pelanggaran HAM Berat di Wasior dan diajukan ke Jaksa Agung. Tetapi kasus pelanggaran HAM berat tidak diproses hingga tahun 2020. Pun sudah 22 tahun pelanggaran HAM berat di Biak Berdarah 6 Juli 1998.

“Tetapi para pelakunya tidak diproses secara hukum oleh negara Republik Indonesia,” ujarnya.

SKPKC GKI Kingmi Kordinator Paniai, Pdt. Agus Mote mengatakan, Presiden Joko Widodo selalu mengunjungi warga di Tanah Papua bahkan setahun bisa sampai dua kali atau lebih. Itu artinya Presiden Joko Widodo tidak sama dengan presiden sebelumnya selama ini, namun Pesiden Joko Widodo juga tidak mampu menyelesaikan akar persoalan di atas ini.

“Termasuk Presiden Jokowi tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua termasuk pelanggaran HAM berat di Paniai,” kata Mote.

Untuk itu, pihaknya bersama keluarga korban menyampaikan segera intervensi pihak internasional dan PBB atas pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 8 Desember 2014 di Paniai, termasuk pelanggaran HAM berat yang belum tuntas di seluruh Tanah Papua hingga 2020.

“Kami mendesak Negara Republik Indonesia segera izinkan masuk Komisi HAM PBB dan Pelapor Khusus PBB untuk datang kunjungi seluruh Tanah West Papua,” kata dia.  (jubi)

Komentar