JurnalPatroliNews – Jakarta – Kenya, yang dulu dikenal sebagai motor pertumbuhan kawasan Afrika Timur, kini tersungkur dalam krisis ekonomi yang kian dalam. Meningkatnya inflasi, lonjakan beban pajak, angka pengangguran yang tinggi, serta praktik korupsi yang merajalela telah mendorong jutaan rakyatnya ke jurang kemiskinan.
Diperkirakan 4 dari 10 warga Kenya kini hidup di bawah garis kemiskinan. Suasana muram itu mudah terlihat di Nairobi, ibu kota negara, di mana kesulitan hidup tergambar nyata di wajah para pedagang kecil dan pekerja informal.
“Ekonomi sedang hancur. Tak ada uang yang berputar,” ujar Christine Naswa, seorang ibu lima anak yang mengais rezeki dengan berjualan sayuran di tepi jalan. Ia mengaku kerap pulang tanpa penghasilan, sementara anak-anaknya menangis kelaparan.
Pemerintah di bawah Presiden William Ruto telah mencoba mencabut sejumlah kebijakan pajak lewat revisi UU Keuangan. Namun, warga menilai kebijakan itu hanya kosmetik—tidak memberi dampak riil bagi rakyat kecil.
“Dari 36 tahun saya berdagang, ini yang terburuk,” keluh seorang pemilik toko di kawasan bisnis Nairobi. Ia enggan disebutkan namanya karena tokonya sempat dijarah saat demonstrasi massa. “Setelah pemilu, pajak melonjak, tapi tidak ada perubahan yang bisa kami rasakan.”
Pemerintah beralasan bahwa pungutan pajak sangat diperlukan untuk melunasi utang luar negeri sekaligus menjaga keseimbangan anggaran negara. Tetapi menurut Kwame Owino dari Institute for Economic Affairs, langkah itu justru semakin menyudutkan rakyat.
“Kita telah melewati batas kewajaran. Masyarakat sudah muak membayar pajak yang ujung-ujungnya dipakai menutupi pengeluaran negara yang tak efisien dan tidak transparan,” tegas Owino.
Patricia Rodrigues, analis dari lembaga Control Risks, menyebut kepercayaan publik pada Presiden Ruto mulai memudar. Alih-alih menepati janjinya untuk membela rakyat kecil, pemerintahannya justru menaikkan pajak secara agresif.
“Yang dirasakan warga adalah pengkhianatan terhadap janji kampanye,” ujarnya.
Lebih ironis, dana negara kini lebih banyak terserap untuk membayar bunga utang ketimbang membiayai sektor esensial seperti pendidikan dan kesehatan. Kenya juga mendapat tekanan dari lembaga donor seperti IMF, yang menuntut reformasi fiskal sebagai syarat bantuan keuangan.
Rencana anggaran negara yang akan dibahas parlemen Kamis mendatang diperkirakan bakal menghindari pajak langsung agar tidak memicu gelombang demonstrasi lanjutan. Namun, suara publik menuntut lebih dari sekadar reformasi pajak.
“Yang dibutuhkan Kenya adalah akuntabilitas. Tanpa itu, siapapun yang berkuasa, rakyat tetap menderita,” kata seorang warga Nairobi.
Harapan kini tertumpu pada pemilu 2027. Namun banyak rakyat sudah pesimistis.
“Orang Kenya akan terus memilih pencuri,” ucap sang pedagang tadi sambil tersenyum pahit.
Komentar