Didik mencontohkan, 20 tahun lalu terjadi krisis APBN. Kemudian Hamzah Haz turun tangan untuk ikut menyelesaikannya. Pada pertengahan tahun 2000-an atau 2005, pro dan kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memuncak dan bisa mengarah ke krisis politik.
“Mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, yang juga menjadi Ketua Umum PPP, terlibat langsung dalam lobi-lobi untuk mengatasi krisis APBN sekaligus potensi krisis politik. Subsidi pada barang adalah pemborosan dan harus diganti menjadi subsidi kepada orang. Hamzah Haz ikut menenangkan suasana dan meskipun tidak populer, kemudian menyetujui kenaikan harga BBM dengan alasan bahwa kenaikan tersebut adalah pilihan rasional,” kata Didik.
Menurut Didik, Hamzah Haz tergolong pemimpin yang mendukung kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Jika politik populis yang tidak rasional dijalankan oleh partai politik, maka pro dan kontra tersebut akan mengarah kepada krisis politik dan akan menciptakan masalah baru yang merupakan gabungan dari krisis APBN, krisis politik, dan meluas menjadi krisis ekonomi rakyat.
“Apa yang dilakukan politisi sekarang ini? Mereka menguras APBN dan mendulang utang di luar kemampuan membayarnya. Seharusnya Sri Mulyani bisa berdiri rasional dalam kebijakan seperti Hamzah Haz,” ujar Didik.
“Namun, kasus Perppu 01 dan utang Rp 1.520 triliun pada tahun 2020 dengan alasan pandemi Covid-19 adalah kesalahan sejarah dalam keputusan APBN, yang dampaknya bisa terasa hingga 2-3 periode kepresidenan. Kini beban utang sangat berat, dengan utang jatuh tempo mencapai 800 triliun dan bunga yang harus dibayar menguras pajak rakyat, mencapai lebih dari Rp 500 triliun,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Didik mengatakan bahwa tidak ada lagi penjaga APBN seperti Hamzah Haz. Menurutnya, APBN saat ini rusak pada sisi penerimaan, dan lebih parah pada sisi pengeluarannya.
“Selain rusak karena kesalahan politik dan kebijakan di pusat, APBN juga menjadi target korupsi dan pemborosan yang masif di banyak daerah kabupaten/kota, provinsi, serta di banyak kementerian dan lembaga negara,” kata Didik.
Komentar