JurnalPatroliNews – Jakarta – Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menolak mentah-mentah tawaran Amerika Serikat terkait solusi program nuklir negaranya. Dalam pidato peringatan 36 tahun wafatnya pendiri Republik Islam Iran, Ruhollah Khomeini, pada Rabu (4/6), Khamenei menegaskan bahwa Iran tidak akan berhenti memperkaya uranium.
Menurutnya, usulan yang diajukan Washington bertentangan dengan nilai-nilai utama bangsa Iran, terutama tentang kedaulatan dan prinsip berdiri di atas kaki sendiri.
“Rakyat kami percaya pada kemerdekaan sejati. Kami tidak butuh izin dari negara mana pun, apalagi dari Amerika,” tegas Khamenei, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Ia menyebut pengayaan uranium sebagai bagian penting dalam mewujudkan kemandirian energi nasional. Dalam pernyataannya, Khamenei juga menolak anggapan bahwa rasionalitas berarti tunduk pada tekanan negara-negara besar.
“Menyerah pada tekanan Amerika bukanlah rasionalitas. Mengapa mereka merasa berhak menentukan apakah Iran boleh memperkaya uranium atau tidak?” ujarnya dengan nada keras.
Sikap keras Khamenei ini diperkuat oleh Presiden Iran Masoud Pezeshkian yang sehari sebelumnya menegaskan bahwa Iran tidak akan melepaskan hak-haknya dalam bidang nuklir dan ilmiah.
Iran selama ini berkeras bahwa program nuklir mereka hanya untuk tujuan damai, seperti pembangkit listrik dan penelitian medis. Namun, negara-negara Barat mencurigai adanya agenda tersembunyi untuk mengembangkan senjata nuklir.
Sebuah laporan rahasia dari PBB yang bocor menyebutkan bahwa dalam tiga bulan terakhir, Iran meningkatkan tingkat pengayaan uranium hingga 50 persen. Padahal, untuk membuat senjata nuklir dibutuhkan tingkat kemurnian uranium mencapai 90 persen.
Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat terkait program nuklir terus berlangsung selama bertahun-tahun, dan saat ini berada di titik rawan. Iran juga tengah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari krisis ekonomi akibat merosotnya nilai mata uang, hingga konflik regional menyusul pembunuhan tokoh milisi Iran oleh Israel.
Gagalnya pembicaraan dengan AS dikhawatirkan bisa memperburuk situasi di Timur Tengah dan memicu eskalasi konflik yang lebih luas di kawasan tersebut.
Komentar