JurnalPatroliNews – Konflik udara antara Israel dan Iran terus bergulir memasuki pekan kedua, dan kini sorotan dunia tertuju pada kemungkinan keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam eskalasi militer. Presiden AS Donald Trump disebut tengah menimbang opsi untuk menyerang salah satu situs nuklir paling dilindungi milik Iran fasilitas pengayaan uranium Fordo.
Meski wacana serangan itu telah mencuat, Trump dikabarkan baru akan memberi lampu hijau jika ada jaminan bahwa fasilitas bawah tanah itu bisa dihancurkan sepenuhnya. Fordo, yang terletak sekitar 96 km dari Teheran dan berada di bawah permukaan pegunungan dekat Qom, dirancang untuk tahan terhadap serangan udara konvensional.
Satu-satunya senjata non-nuklir yang dinilai punya potensi untuk menghantam bunker sedalam itu adalah bom GBU-57 atau Massive Ordnance Penetrator (MOP), seberat hampir 14 ton. Namun laporan dari The Guardian pada 21 Juni 2025 menyebutkan bahwa Trump belum sepenuhnya yakin dengan kemampuan bom tersebut menembus struktur pertahanan Fordo.
Di dalam tubuh Pentagon sendiri, terdapat perdebatan panjang mengenai efektivitas MOP. Banyak analis pertahanan meragukan kekuatan bom itu untuk merusak instalasi yang tertanam sekitar 90 meter di bawah tanah. Beberapa bahkan menyebut hanya senjata nuklir taktis yang dapat menjamin penghancuran total fasilitas itu. Namun, menurut laporan, Trump belum mempertimbangkan penggunaan nuklir, dan opsi ini pun tidak masuk dalam rekomendasi dari Menhan Pete Hegseth atau Jenderal Dan Caine saat pertemuan terakhir di Gedung Putih.
Analisis dari Defense Threat Reduction Agency (DTRA), badan militer yang mengkaji ancaman senjata pemusnah massal, memperkirakan bahwa bom GBU-57 mungkin hanya mampu menyebabkan kerusakan sebagian, seperti menjatuhkan puing dan menutup terowongan Fordo. Skenario optimal yang dipertimbangkan termasuk pengeboman bertahap: dimulai dari pelunakan tanah dengan beberapa bom konvensional, lalu diakhiri dengan senjata pemusnah yang lebih besar dari pesawat pembom siluman B-2.
Sebagai perbandingan, fasilitas nuklir Iran di Natanz yang hanya berada 20 meter di bawah tanah, sudah sempat diserang Israel dan kini diyakini mengalami kerusakan besar. Artinya, perbedaan kedalaman menjadi kunci dalam efektivitas strategi pengeboman.
Wakil Laksamana (Purn.) Mark Mellett kepada BBC menegaskan bahwa keberhasilan menghancurkan bunker sangat bergantung pada desain dan kekuatan bangunan bawah tanah yang disiapkan Iran. Ia percaya bahwa Iran sudah sejak lama merancang struktur mereka untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari AS.
Sinyal bahwa AS tengah bersiap semakin terlihat. Enam pesawat pembom siluman B-2 tercatat berada di Pangkalan Udara Diego Garcia di Samudra Hindia lokasi strategis sekitar 3.700 km dari Iran dan satu-satunya pangkalan yang mampu meluncurkan MOP. Meski begitu, keberadaan terkini pesawat-pesawat itu belum terverifikasi lewat citra satelit terbaru.
Dalam beberapa hari terakhir, puluhan pesawat militer AS juga dilaporkan dipindahkan ke Eropa, termasuk pesawat pengisian bahan bakar di udara seperti KC-135, yang berperan penting dalam mendukung operasi jarak jauh.
Saat ini, AS memang masih berperan secara terbatas—membantu Israel mencegat serangan rudal Iran. Namun analisis dari BBC Verify menyebutkan bahwa langkah-langkah militer yang tengah diambil menunjukkan Washington kemungkinan tengah mempersiapkan keterlibatan lebih langsung, jika situasi terus memburuk.
Komentar