JurnalPatroliNews – Jakarta – Sebuah keputusan promosi jabatan di lingkungan Kementerian HAM tengah menjadi perhatian luas. Seorang pejabat dengan usia 58 tahun diketahui diangkat menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian HAM Provinsi Sumatera Selatan pada Maret 2025. Padahal, menurut regulasi yang berlaku, usia tersebut telah melebihi batas maksimal untuk pengangkatan ke Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama.
Fakta ini menarik perhatian publik karena dianggap menyalahi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa seorang PNS hanya dapat diangkat dalam JPT Pratama apabila berusia maksimal 56 tahun, kecuali yang bersangkutan telah pernah menduduki jabatan tersebut sebelumnya.
Dalam hal ini, pejabat berinisial H.M., S.H., M.H. diketahui belum pernah menjabat sebagai JPT Pratama dan baru saja menyelesaikan masa jabatannya sebagai Kepala Kejaksaan Negeri di NTT, yang juga merupakan jabatan administrator. Lebih dari itu, pengangkatan dilakukan sesaat setelah yang bersangkutan memasuki masa pensiun struktural, sehingga menuai pertanyaan serius dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan pemerhati masyarakat sipil.
Deri Hartono, Sekjen DPP Garda Tipikor Indonesia (GTI) telah menyampaikan surat resmi kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk meminta kejelasan dan langkah korektif atas dugaan pelanggaran sistem merit dalam proses pengangkatan tersebut.
>“Aturan batas usia bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan kriteria administratif yang melekat pada asas keadilan dan kepastian hukum dalam sistem ASN,” ujar Deri, kepada JurnalPatroliNews, Jakarta jumat (13/6/2025).
Menurut GTI, promosi langsung dari jabatan administrator ke JPT Pratama di atas usia 56 tahun jelas tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan. Kebijakan seperti ini dianggap menciptakan ketimpangan karena banyak ASN lain dengan kualifikasi serupa justru ditolak promosi karena dianggap melewati usia maksimal.
> “Kami menerima banyak laporan dari pejabat administrator di berbagai instansi yang gagal ikut seleksi JPT Pratama hanya karena faktor usia. Lalu, mengapa yang ini bisa? Di mana keadilan administratifnya?” tegas Deri.
DPP GTI juga menyoroti bahwa pengangkatan ini terjadi di instansi yang memiliki otoritas moral dan hukum, yakni Kementerian HAM, yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip legalitas dan memberikan contoh kepatuhan terhadap aturan perundang-undangan.
Lebih jauh, Deri kembali mengingatkan bahwa konsekuensi dari pengangkatan yang tidak sah dapat merembet pada legalitas tindakan pejabat bersangkutan. Hal ini selaras dengan Pasal 18 ayat (1) huruf c jo. Pasal 17 ayat (2) huruf a UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan bahwa keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
Lanjutnya, menegaskan bahwa sikap kritis ini tidak bermaksud menjatuhkan individu, melainkan untuk mengoreksi proses dan mekanisme kelembagaan agar tetap berpijak pada sistem merit yang adil dan objektif.
> “Jika pemerintah tidak memberi keteladanan dalam menaati aturan, bagaimana mungkin masyarakat diajak untuk patuh?” imbuhnya.
“Kita semua sepakat bahwa kewenangan pejabat publik dibatasi oleh hukum. Bahkan dalam menjalankan hak asasi pun, setiap individu tetap terikat aturan,” tukasnya.
Sebagai bentuk akuntabilitas publik, apabila benar GTI mendesak BKN untuk:
1. Mengakui telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip sistem merit dalam pengangkatan tersebut,
2. Melakukan peninjauan kembali atas keputusan promosi jabatan yang bersangkutan, dan
3. Mendorong Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) agar mengevaluasi ulang pejabat JPT yang dilantik tanpa memenuhi syarat kualifikasi kepegawaian secara hukum.
DPP Garda Tipikor juga telah mengirimkan Surat Ke BKN RI Nomer: 007/GTI- Pengaduan/VI/2025, dengan berbagai tembusan surat kepada pihak yang berkaitan dan berkepentingan dalam penegakannya.
Kini, yang dinantikan publik ketegasan institusional BKN dalam menjaga integritas sistem kepegawaian negara dari praktik-praktik yang menciderai keadilan dan kepercayaan publik.
Komentar