Menurut Sugeng, berdasarkan aturan tersebut, Hakim Agung berhak mendapatkan honorarium untuk setiap perkara yang diputuskan dalam waktu 90 hari. Namun, kenyataannya, para hakim hanya menerima sekitar 60 persen dari hak mereka.
Sebagian lagi, sekitar 14,05 persen, diserahkan kepada panitera perkara, panitera muda kamar, hingga staf. Sementara itu, 25,95 persen dari honor tersebut tidak jelas penggunaannya.
“Data ini kami peroleh dari surat internal Mahkamah Agung dan sudah kami serahkan kepada KPK. Kami meminta KPK untuk mendalami apakah ada tindak pidana korupsi dalam pemotongan honor ini,” tegas Sugeng.
Sugeng juga menyoroti pernyataan dari Juru Bicara Mahkamah Agung yang menyebut bahwa pemotongan honor dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama di antara Hakim Agung.
Namun, Sugeng meragukan kesepakatan tersebut, karena menurutnya, honor hanya bisa dikurangi atas dasar kesukarelaan, dan jumlah yang diberikan seharusnya bervariasi untuk setiap Hakim Agung.
“Jika kita memberikan sesuatu kepada pihak lain, itu sifatnya sukarela, seperti sedekah. Tapi di sini ada pemotongan rata-rata sebesar 25,95 persen. Apakah ada unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat untuk meminta hal yang bertentangan dengan kewajiban dan peraturan? Silakan KPK mendalami lebih lanjut,” tutup Sugeng.
Komentar