JurnalPatroliNews – Jakarta – Dalam dinamika penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia, mediasi kerap menjadi pilihan awal yang ditawarkan negara guna mendorong penyelesaian secara damai dan musyawarah. Sebagai bagian dari mekanisme non-litigasi, mediasi dinilai mampu meredam eskalasi konflik serta memberikan ruang dialog antarpihak dalam semangat keadilan restoratif.
Namun demikian, sebagian kalangan mulai mengangkat pertanyaan mendasar terkait efektivitas dan netralitas pelaksanaan mediasi, terutama apabila akar persoalan justru bersumber dari internal lembaga yang memfasilitasi proses tersebut.
Salah satu pandangan disampaikan oleh IGN Agung Y. Endrawan, SH, MH, CCFA, seorang praktisi hukum dan mahasiswa doktoral kebijakan publik, yang dalam kiprahnya pernah menjabat sebagai Analis Senior Hukum di OJK serta Direktur Kebijakan di Bakamla. Dalam refleksi yang disampaikan secara hati-hati dan penuh hormat, Agung menyampaikan bahwa mediasi akan bermakna dan efektif apabila dilaksanakan secara adil, transparan, dan berpijak pada prinsip netralitas ASN dan kelembagaan.
“Mediasi merupakan sarana yang luhur jika dijalankan dalam koridor yang tepat. Namun dalam situasi tertentu, justru muncul kekhawatiran bahwa mediasi digunakan bukan untuk menyelesaikan, melainkan menunda atau mengaburkan akar permasalahan hukum,” ujar Agung. kepada JurnalPatroliNews, di Jakarta, Minggu (29/6/2025).
Ia mencontohkan situasi yang pernah dialami masyarakat, di mana terdapat dua pihak yang mengklaim lahan yang sama. Salah satu pihak telah mengajukan permohonan, namun tidak memperoleh kepastian dalam waktu yang lama. Di sisi lain, pihak lain memperoleh sertifikat dalam tempo singkat, meski kemudian belakangan terindikasi menggunakan dokumen yang tidak sah dan telah diketahui oleh pejabatnya. Ketika informasi ini disampaikan kepada pejabat terkait, bukan tindakan korektif yang dilakukan, melainkan penawaran untuk melakukan mediasi.
“Jika pejabat telah mengetahui adanya indikasi cacat administratif, maka akan lebih bijaksana bila tindakan korektif diambil daripada mediasi dipilih sebagai jalan keluar,” imbuh Agung dengan nada bijak.
Mengacu pada ketentuan Permen ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 Pasal 29 ayat (1) dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 64, ditegaskan bahwa pejabat pemerintahan memiliki kewajiban hukum untuk membatalkan produk keputusan yang dari hasil penelitian terbukti cacat secara administratif. Dalam konteks ini, menurut Agung, mediasi tidak seharusnya dijadikan langkah pertama apabila telah diketahui adanya pelanggaran hukum substantif.
Namun demikian, Agung juga menekankan bahwa mediasi tetap relevan dan bermanfaat dalam situasi-situasi tertentu. Misalnya, dalam konflik batas tanah antar dua pemilik sertifikat yang sah, atau dalam perkara waris di mana para ahli waris belum mencapai kesepakatan. Dalam kondisi tersebut, mediasi berperan penting sebagai jembatan untuk mencapai mufakat.
“Ketika mediasi dilaksanakan dalam situasi netral, tanpa beban pelanggaran administratif, dan tidak terdapat unsur pemalsuan dokumen, maka ia menjadi cerminan pelayanan publik yang bijaksana,” tuturnya.
Lebih lanjut, Agung menyampaikan pandangan mengenai pentingnya penguatan sistem pengawasan melekat (waskat) di lingkungan lembaga pelayanan pertanahan. Menurutnya, pengawasan sebaiknya tidak hanya bersifat administratif-formal, namun juga harus mampu menelisik potensi penyimpangan substantif di balik keteraturan prosedural.
“Sering kali pelanggaran tersembunyi di balik kelengkapan dokumen. Maka, kecermatan dan kepekaan moral menjadi bagian penting dari pengawasan yang bermakna,” jelasnya.
Ia pun menyampaikan bahwa kepercayaan masyarakat tidak hanya tumbuh dari hasil akhir pelayanan publik, tetapi juga dari proses dan niat baik yang tampak nyata dalam setiap tindakan aparatur. Dalam pandangannya, keberanian untuk membatalkan keputusan yang tidak sah lebih mencerminkan martabat dan integritas pejabat, ketimbang bersembunyi di balik mekanisme formal.
“Masyarakat kini semakin cerdas. Mereka menilai bukan hanya dari output, tetapi juga dari sikap dan komitmen pejabat dalam menjunjung tinggi kejujuran, keadilan dan kebenaran,” kata Agung.
Sebagai penutup, Agung menyampaikan harapan agar seluruh pejabat publik, khususnya di bidang pertanahan, terus menjaga amanah jabatan yang diemban. Ia mengajak agar setiap kebijakan dan keputusan didasarkan pada integritas, kompetensi, dan keteladanan.
“Jika melayani adalah bagian dari nilai luhur kebangsaan, maka jagalah kemurniannya dengan hati yang bersih dan niat yang tulus. Hukum tidak akan bermakna jika tidak ditegakkan dengan kejujuran,” pungkasnya.
Komentar