Mendagri Tito: Inflasi Rendah Bisa Jadi Ancaman Bagi Petani dan Nelayan

JurnalPatroliNews – Jakarta – Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Tahun 2025 yang digelar pada Senin (21/4/2025), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan bahwa tren inflasi yang terkendali tidak selalu menjadi kabar baik bagi semua pihak, terutama bagi para produsen dalam negeri seperti petani dan nelayan.

Tito menyampaikan bahwa per Maret 2025, tingkat inflasi tahunan Indonesia berada di angka 1,03% (YoY), sementara secara bulanan tercatat 1,65% (MtM). Meskipun angka ini menunjukkan peningkatan dari bulan sebelumnya yang mengalami deflasi sebesar -0,09%, menurut Tito, kondisi inflasi masih dalam batas aman.

“Target inflasi nasional kita berada di kisaran 2,5% plus minus 1%. Jadi kalau sekarang di angka 1,03%, itu masih aman dan menguntungkan bagi konsumen,” jelasnya melalui siaran di kanal YouTube Kemendagri.

Namun, ia menegaskan bahwa inflasi rendah ini bisa menjadi pedang bermata dua. Tito menyoroti situasi kelebihan pasokan hasil pertanian akibat panen raya yang menyebabkan harga jual anjlok, yang tentu merugikan produsen.

“Panen besar terjadi di sektor beras dan jagung. Presiden pun sudah menginstruksikan agar Bulog menyerap gabah dengan harga Rp6.500 dan jagung Rp5.500 per kilogram. Ini bisa membantu petani, asalkan realisasinya konsisten,” kata Tito.

Inflasi Minim: Keuntungan atau Tanda Bahaya?

Tito juga mengulas posisi Indonesia secara global terkait inflasi. Saat ini, Indonesia berada di urutan ke-34 dari 186 negara dengan tingkat inflasi terendah. Meski terkesan positif, ia mengingatkan bahwa inflasi rendah bisa memiliki dua sisi.

“Inflasi rendah bisa berarti suplai mencukupi dan daya beli tinggi, tapi juga bisa mencerminkan lemahnya konsumsi masyarakat karena daya beli menurun tajam,” ujarnya.

Ia mencontohkan kasus di Gaza dan Sri Lanka, di mana harga-harga turun bukan karena kondisi ekonomi membaik, melainkan karena masyarakat tak mampu membeli kebutuhan dasar akibat konflik dan krisis.

“Deflasi tidak selalu baik. Di Gaza, misalnya, harga-harga turun karena perang dan kelaparan. Itu bukan pertanda ekonomi sehat,” tambahnya.

Tito juga menyoroti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mencatat inflasi sangat rendah bahkan deflasi. Namun ironisnya, pertumbuhan ekonomi daerah tersebut justru terperosok hingga -18,1%.

“Ini harus menjadi pelajaran. Rendahnya inflasi di DIY tidak otomatis berarti kondisi ekonomi bagus. Jika kita lihat lebih dalam, pertumbuhan ekonominya justru negatif tajam, menunjukkan daya beli masyarakat sedang melemah,” pungkasnya.

Komentar