JurnalPatroliNews – Jakarta – Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES menyelenggarakan diskusi bertajuk “Militerisasi di Pemerintahan Prabowo-Gibran: Sebuah Pengkhianatan terhadap Reformasi?” pada diskusi ini menyoroti isu terkait pengesahan RUU TNI serta dampaknya terhadap reformasi dan prinsip demokrasi di Indonesia. Para narasumber mengulas berbagai kekhawatiran mengenai dominasi militer dalam pemerintahan serta implikasi hukum dan politik yang menyertainya. Diselenggarakan secara online melalui zoom meeting pada Kamis (20/3/2025).
Peni Hanggarini, Dosen Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, mengkritisi proses penyusunan RUU TNI yang dinilainya tidak transparan dan dilakukan secara tergesa-gesa. “Proses legislasi yang dilakukan secara tertutup, terburu-buru, dan minim keterlibatan publik justru dianggap lumrah oleh elite politik” tutur Peni.
Peni menyoroti beberapa pasal dalam revisi ini, seperti Pasal 3, Pasal 7, Pasal 47, dan Pasal 53, yang mengatur perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga dari sebelumnya 10 menjadi 14. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi mengancam kebebasan sipil dan meningkatkan risiko konflik kepentingan dalam pemerintahan.
Hadi Rahmat Purnama, Direktur Pusat Kajian Hukum, HAM, dan Gender LP3ES, turut menyoroti cepatnya proses pengesahan RUU TNI. Ia mengkritik bagaimana RUU ini langsung dimasukkan ke dalam Prolegnas pada Februari dan disahkan pada Maret, sementara banyak rancangan undang-undang lain yang lebih mendesak justru tertunda. “Proses legislasi yang terburu-buru seperti ini tidak seharusnya terjadi dalam negara demokratis” tegasnya.
Hadi menekankan bahwa hukum harus ditegakkan tidak hanya dari segi materi, tetapi juga dari proses yang transparan dan akuntabel. Ia juga mengingatkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan harus dijamin agar keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan rakyat, bukan hanya elite politik.
Dalam konteks sejarah, Hadi mengingatkan bahwa ketegangan antara militer dan politik sipil dapat merugikan demokrasi. “Masyarakat tidak menginginkan kembalinya praktik di era Orde Baru, di mana militer dan kepolisian menjadi alat politik” ujar Hadi. Ia juga menegaskan bahwa reformasi seharusnya difokuskan pada institusi kepolisian yang semakin terlibat dalam urusan sipil, bukan justru memperkuat peran militer dalam pemerintahan.
Ahmad Khoirul Umam, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, menyoroti kurangnya transparansi dalam proses legislasi RUU TNI. Menurutnya, pembatasan akses informasi dan minimnya keterlibatan masyarakat menunjukkan bahwa proses ini tidak dilakukan secara terbuka. “Proses legislasi seharusnya dilakukan dengan lebih transparan agar masukan dari organisasi masyarakat sipil dapat diakomodasi dengan baik” paparnya.
Komentar