Jurnalpatrolinews – Sentani : Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua atau PGBWP menyatakan kekerasan di Papua merupakan bentuk pemusnahan etnik terhadap Orang Asli Papua. Kejahatannya terstruktur dan sistematis.
“Kita harus jujur dan berani menyatakan bahwa terjadi pelanggaran berat HAM (hak asasi manusia) di Papua. Papua adalah luka bernanah di tubuh Indonesia,” kata Presiden PGBWP Nduma Socrates Sofyan Yoman dalam keterangan tertulis, Kamis (10/12/2020)
Pendeta Yoman mengatakan ketidakadilan dan rasisme makin menjadi-jadi sejak pemberlakuan otonomi khusus Papua. Bayang-bayang kekerasan kian mencekam kehidupan masyarakat.
“Ketidakadilan dan rasisme serta kekerasan berlangsung secara sistematis dan terstruktur karena melibatkan (aparat) negara. Banyak tragedi kemanusiaan selama era otonomi khusus Papua,” jelasnya.
Dia menguraikan berbagai bentuk kebiadaban terhadap warga sipil di Papua. Di antaranya, penembakan yang menewaskan tiga warga di Ilaga, Kabupaten Puncak, bulan lalu. Dua korban jiwa pada tragedi itu merupakan pelajar bahkan salah satunya siswa sekolah dasar.
“Pendeta Yeremia Zanambani juga tewas ditembak pada 20 September di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya. Kemudian, Pastor Rulinus Tigau dan Agustinus Duwitau juga tewas ditembak pada 27 Oktober di Intan Jaya. Lalu, penembakan yang menyebabkan tewasnya seorang ayah dan anak di Kampung Meganggorak, Nduga,” beber Yoman.
Semua kasus tersebut terjadi pada tahun ini. Ada serentetan kekerasan serupa pada tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya. Pengusutan terhadap kasus pelanggaran berat HAM tersebut juga mengendap.
“Ada Tragedi Biak Berdarah pada 1998, Tragedi Wamena, dan Abepura Berdarah pada 2000, Wasior Berdarah Juni 2001, Pembunuhan Theys Hiyo Eluay, 2001. Kemudian, penembakan hingga tewasnya Kelly Kwalik pada 2009, Paniai Berdarah 2014, dan kekerasan di Tolikara pada 2015, serta serentetan kasus lain,” lanjut Pendeta Yoman.
Kepala Departemen Perempuan Persatuan Gerakan untuk Pembebasan Papua Barat (ULMWP) Iche Murib menyatakan tidak pernah ada penegakkan HAM di Papua. Pembangunan Papua hanya menjadi slogan kosong Pemerintah Indonesia.
“Hak politik (Rakyat Papua) dicaplok Indonesia sejak 1963. Kebijakan ekonomi dan sosial juga diskriminatif,” tegas Murib dalam kesempatan terpisah. (Jubi)
Komentar