JurnalPatroliNews – Jakarta – Pertarungan politik di Provinsi Jawa, dengan jumlah penduduk yang sangat besar, menjadi ajang persaingan sengit antar partai politik, baik yang berada dalam koalisi maupun di luar koalisi. Persaingan ini semakin memanas menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada 2024), terutama di wilayah Jawa Barat, Daerah Khusus Jakarta, dan Banten, yang secara historis telah menjadi medan pertempuran politik yang strategis.
Jawa Barat, dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia mencapai sekitar 46 juta jiwa, selama ini dikenal sebagai “kandang kuning” atau basis kuat Partai Golkar. Hal ini sudah berlangsung sejak era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Di Banten, situasinya tidak jauh berbeda, dengan dominasi politik yang kuat dari klan Atut Chosiyah yang memiliki akar kuat di partai berlambang pohon beringin ini.
Namun, posisi strategis Partai Golkar di wilayah ini berpotensi terancam tergusur. “Jika Ridwan Kamil, yang saat ini merupakan pengurus sekaligus kader Partai Golkar dan juga inkumben Gubernur Jawa Barat, dipindahkan ke Jakarta, maka Golkar akan kehilangan salah satu lumbung suaranya di pertarungan politik 2029,” kata Samuel F. Silaen, pengamat politik, alumni Lemhanas Pemuda 2009, kepada redaksi JurnalPatroliNews, Jumat (16/8/24).
Lebih lanjut, Silaen menambahkan bahwa ada isu lain yang perlu diperhatikan. “Ada informasi beredar secara bisik-bisik tetangga bahwa Banten juga dipaksa dilepas dari kekuasaan klan Atut Chosiyah yang akan diteruskan oleh Airin Rachmi Diany,” ujarnya. Jika ini benar, maka Partai Golkar bisa menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kekuasaan mereka di Banten.
Potensi kerugian ini semakin besar jika dikaitkan dengan dugaan adanya sandera politik oleh penguasa saat ini. “Golkar yang akan paling dirugikan berkali-kali dalam Pilkada serentak 2024 ini. Beberapa lumbung suaranya harus dilepas ‘terpaksa’, termasuk di Provinsi Sumatera Utara, di mana mantan Wakil Gubernur dari Golkar juga tidak ditugaskan untuk mengamankan suara di sana pada 2024 nanti,” tambah Silaen.
Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa Partai Golkar seolah rela melepas basis-basis suara yang sudah mereka bangun hanya untuk mengamankan satu atau beberapa oknum petinggi partai?
“Golkar terlihat bersedia menukar kantong-kantong basis suaranya, yang kemungkinan besar mereka dapat menangkan, untuk memindahkan pertarungan ke tempat yang belum tentu mereka menangi,” terang Silaen.
Situasi ini, menurut Silaen, harus menjadi perhatian serius bagi Partai Golkar. Basis suara mereka di Jawa, yang telah lama menjadi kekuatan utama, kini tampaknya sedang diincar oleh partai politik lain yang berupaya memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan dalam Pemilu 2029.
“Ini perlu dicemaskan oleh Partai Golkar demi mengamankan basis suaranya yang sekarang sepertinya sedang diobok-obok oleh partai politik tertentu dengan menggunakan tangan ‘Pak Lurah’ untuk memuluskan niat menguasai kantong suara Golkar di 2029,” pungkasnya.
Pertarungan politik di Jawa ini tentu akan menjadi salah satu isu yang paling menarik untuk diamati menjelang Pilkada 2024. Bagaimana Partai Golkar dan partai-partai lain mengatur strategi mereka untuk merebut hati pemilih di wilayah ini akan sangat menentukan peta politik nasional ke depan.
Komentar