JurnalPatroliNews – Jakarta – Dunia kembali menahan napas menghadapi ketegangan geopolitik yang semakin menajam di kawasan Timur Tengah. Awan konflik kian pekat setelah Amerika Serikat mengirimkan pesawat angkut militer raksasa, C-5M Super Galaxy, ke Arab Saudi, hanya sepelemparan batu dari wilayah udara Iran. Pesawat yang lepas landas dari Pangkalan Udara Aviano di Italia pada Kamis (19/6) itu kini menjadi simbol terbaru eskalasi militer yang mengkhawatirkan dalam konflik Iran–Israel.
Langkah itu memunculkan kekhawatiran serius dari para pengamat. Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D., menilai pengerahan kekuatan militer AS ini merupakan sinyal intensifikasi konflik yang bisa berbuntut panjang. Ia menyebutnya sebagai bentuk “eskalasi strategis yang sangat rawan memicu respons agresif dari Iran dan para sekutunya.”
Menurut Umam, langkah sepihak AS tanpa payung hukum internasional membuka ruang bagi ketegangan yang bisa berubah menjadi kesalahan kalkulasi fatal (strategic miscalculation). Apalagi, katanya, Iran memiliki jaringan hubungan kuat dengan kekuatan besar dunia seperti Rusia dan Tiongkok, yang bisa ikut terlibat jika konflik semakin membesar.
“Jika ego politik terus dikedepankan, dan jalur diplomasi ditutup rapat, maka dunia tak sedang bermain-main dengan konflik lokal melainkan membuka pintu bagi tragedi global,” tegasnya.
Di sisi lain, ia menggarisbawahi ironi besar dalam posisi dunia Islam terhadap konflik ini. Meski Iran berhaluan Syiah, banyak pihak tetap menganggapnya bagian dari solidaritas umat Islam global. Namun, ketika Iran berani bersikap tegas terhadap Israel yang kerap dituding melakukan pelanggaran HAM di Palestina justru beberapa negara Muslim memilih bungkam atau bahkan memberi jalan bagi serangan terhadap Teheran.
“Inilah potret paradoks politik dunia Islam hari ini,” ucap Umam. “Orientasi kebijakan kini lebih dikendalikan oleh logika geopolitik dan tekanan kekuatan global, bukan lagi oleh semangat keumatan atau solidaritas Muslim.”
Ia juga menyebut bahwa sejumlah negara yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel tampak mulai menoleransi bahkan memfasilitasi manuver militer terhadap Iran sebuah indikasi pergeseran besar dalam peta ancaman yang dulunya diarahkan ke Israel, kini justru ke Iran.
Dalam konteks ini, Umam mendorong agar Amerika Serikat, khususnya kekuatan politik di tubuh Partai Republik, memainkan peran lebih bijak dengan menahan diri dari manuver yang terlalu memanjakan Israel. Ia menyerukan agar Washington beralih menjadi pemimpin dalam upaya damai, bukan eskalasi.
“Sudah saatnya Amerika menggunakan kekuatan diplomasinya untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam konflik ini, bukan memihak secara membabi buta,” tegasnya.
Menurutnya, jika krisis Iran–Israel terus bereskalasi tanpa penengah, dunia berisiko menghadapi salah satu bencana kemanusiaan terbesar abad ke-21.
“Menghindari perang skala besar bukan kelemahan, tapi kebijaksanaan. Kita harus belajar dari sejarah Perang Dunia I dan II yang bermula dari kesombongan para pemimpin yang salah kalkulasi,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Umam mengajak semua pihak, dari pemimpin dunia hingga masyarakat sipil, untuk berani melangkah keluar dari bayang-bayang dendam dan konflik masa lalu. “Pemenang sejati di zaman ini bukanlah yang unggul dalam kekuatan militer, tapi mereka yang berani berdamai dan membangun kepercayaan,” tutupnya.
Komentar