Pertengkaran Pasangan Bukan Akhir Segalanya, Ini Cara Menghindari Jurang Perceraian

JurnalPatroliNews – Jakarta – Konflik dalam hubungan rumah tangga merupakan bagian tak terelakkan dari kehidupan pasangan. Namun yang lebih penting dari pertengkaran itu sendiri adalah bagaimana pasangan menyikapinya agar tidak merusak ikatan cinta hingga berujung pada perceraian.

Psikolog dari Amerika Serikat, Mark Travers, menyebutkan bahwa ada beberapa pola pertengkaran yang kerap muncul berulang kali di antara pasangan. Survei yang dilakukan YouGov dan dikutip oleh CNBC Make It mengungkap penyebab paling umum pertikaian rumah tangga. Berikut empat di antaranya:

1. Intonasi dan Ekspresi Tubuh

Hal-hal kecil seperti nada bicara yang meninggi, sikap dingin, komentar menyindir, atau sekadar memutar mata saat berbicara bisa memicu konflik serius. Meski terlihat sepele bagi pelaku, bagi pasangan, perilaku ini bisa terasa seperti bentuk pelecehan emosional atau tanda kurangnya penghargaan.

Dalam studi tentang pernikahan, sikap merendahkan seperti ini sering dikaitkan dengan perceraian karena cenderung tersembunyi di balik bahasa tubuh.

Solusi: Hindari membalas dengan cara yang sama. Lebih baik ungkapkan dampak emosionalnya dan beri pasangan ruang untuk memperbaiki nada pembicaraan.

2. Masalah dengan Keluarga Besar

Ketika pasangan berselisih tentang urusan keluarga—seperti merasa tidak didukung atau dikalahkan oleh keluarga pasangan—konflik bisa berkembang menjadi perdebatan tentang nilai dan prioritas hidup.

Dalam kasus yang menyangkut anak, misalnya, perbedaan prinsip dalam pola asuh bisa memicu pertengkaran sengit.

Solusi: Bangun kepercayaan dan kesatuan sebagai pasangan. Misalnya dengan mengucapkan, “Aku sayang keluargaku, tapi kamu tetap prioritasku.” Buat kesepakatan bersama terkait batasan peran keluarga dalam kehidupan Anda berdua.

3. Urusan Rumah Tangga

Pertengkaran soal piring kotor atau cucian menumpuk sering kali dianggap remeh. Namun di balik itu, biasanya tersembunyi ketimpangan dalam pembagian beban rumah tangga.

Penelitian menunjukkan salah satu pihak cenderung memikul tanggung jawab lebih besar—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi seperti mengelola keuangan, jadwal keluarga, hingga kesejahteraan anggota rumah tangga lainnya. Kurangnya apresiasi terhadap upaya ini bisa menjadi akar konflik.

Solusi: Mulailah dengan pengakuan, misalnya, “Aku sadar ternyata kamu sudah melakukan banyak hal, terima kasih.” Dari sana, diskusikan ulang pembagian tugas dengan prinsip adil, meski tidak harus selalu 50:50.

4. Gaya Bicara dan Cara Menyampaikan

Cara pasangan berkomunikasi dalam konflik sering kali menentukan apakah masalah akan terselesaikan atau justru memburuk. Respons yang defensif atau menyalahkan dapat mengalihkan perhatian dari inti masalah dan memperkeruh suasana.

Ketika pembicaraan berubah arah dan lebih fokus pada ‘bagaimana’ argumen itu terjadi daripada ‘apa’ yang dipermasalahkan, hubungan bisa memasuki jalur bahaya.

Solusi: Terapkan kode damai seperti memberi jeda lima detik atau menggunakan kalimat penanda seperti, “Kita butuh istirahat sebentar.” Setelah emosi mereda, lanjutkan percakapan dengan niat saling mendengarkan.

Contoh pendekatan: “Aku ingin mendengar kenapa kamu marah, dan aku harap kamu juga ingin tahu bagaimana perasaanku. Ceritakan dulu dari sisi kamu, lalu aku akan menyampaikan dari sisiku.”

Komentar