JurnalPatroliNews – Jakarta – Polemik mutasi dan rotasi sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Maybrat, di Provinsi Papua Barat Daya, terus menjadi sorotan publik. Langkah tersebut dinilai tidak hanya mendadak dan penuh tanda tanya, tetapi juga menyisakan kejanggalan dari sisi prosedur hukum dan administrasi.
Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafy, secara tegas menyebut proses mutasi tersebut sebagai tindakan yang cacat secara hukum administrasi. Ia menyoroti ketiadaan Surat Keputusan (SK) Bupati Maybrat, Karel Murafer sebagai dasar legalitas, yang digantikan hanya dengan Surat Perintah dan Nota Dinas.
“Kami menerima laporan bahwa sejumlah pejabat digeser dari jabatannya hanya berdasarkan Nota Dinas dan Surat Perintah, tanpa disertai SK Bupati. Ini sangat janggal dan tidak sah secara administrasi,” ujar Uchok dalam keterangannya, kepada JurnalPatroliNews di Jakarta, Minggu (20/4/2025).
Pernyataan Uchok sekaligus menanggapi penjelasan Bupati Maybrat, Karel Murafer, sebagaimana diberitakan media lokal pbdnews.com, Kamis (19/3/2025), terkait pengangkatan pelaksana harian (Plh) Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Plh Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Menurut Bupati, mutasi tersebut merupakan bagian dari hak prerogatif kepala daerah yang telah mendapat persetujuan dari Gubernur Papua Barat Daya dan Menteri Dalam Negeri.
Namun bagi Uchok, prosedur penggantian pejabat tanpa SK Bupati Maybrat tetap menyalahi ketentuan hukum yang berlaku. Ia menegaskan, dalam sistem pemerintahan daerah, hanya SK Bupati yang memiliki kekuatan hukum sebagai dasar pengangkatan atau pemberhentian pejabat struktural.
“Nota dinas tidak bisa menggantikan SK. Nota dinas hanya bersifat internal dan tidak memiliki daya hukum untuk menetapkan jabatan struktural, apalagi untuk posisi strategis seperti kepala dinas,” tegasnya.
Lebih jauh, Uchok mengingatkan bahwa tindakan semacam ini berpotensi menabrak sejumlah regulasi penting, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS, hingga Permendagri Nomor 73 Tahun 2016.
“Dalam Permendagri jelas disebutkan bahwa kepala daerah tidak diperkenankan mengganti pejabat dalam enam bulan pertama masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan dari Mendagri. Anehnya, mutasi ini bukan karena ada kekosongan jabatan, tetapi justru menggantikan pejabat aktif yang memiliki SK sah sejak 2022,” ujar Uchok.
Ia juga menyinggung keresahan yang dirasakan para Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Maybrat. Banyak di antara mereka, menurut Uchok, mempertanyakan proses yang dinilai tertutup, mendadak, dan tidak transparan.
Menanggapi kondisi tersebut, Uchok mendesak agar pemerintah pusat segera mengambil langkah tegas. Ia mendorong Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PAN-RB, Kemendagri, hingga Ombudsman RI untuk turun langsung mengaudit proses mutasi tersebut.
“Ini bukan semata soal pelanggaran prosedur. Ini soal menjaga kredibilitas pemerintahan daerah dan melindungi ASN sebagai pilar birokrasi yang harus bekerja dalam kepastian hukum,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Uchok berharap Bupati Maybrat segera membuka komunikasi secara transparan kepada publik guna meredakan ketegangan dan kecurigaan yang muncul di tengah masyarakat.
“Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang berani bertanggung jawab dan terbuka atas kebijakan yang diambil, terlebih jika menyangkut jabatan publik,” pungkas Uchok.
Komentar