POLRI Sebagai Tumbal Sejarah Demokrasi Indonesia Lewat RUU

Hukum diperalat oleh oligarki, dan pihak yang taat hukum (pihak yang benar secara hukum) tidak mau mengeluarkan dana (sogokan) karena hal tersebut bisa dijadikan senjata oleh lawan dalam berperkara untuk membelokkan menjadi kena pasal lain alias menjadi pintu masuk kelemahan untuk dieksploitasi pihak lawan melalui rekayasa perkara. Hasilnya, penghasilan ekstra penegak hukum adalah ketika mereka yang salah secara hukum menginginkan hukum menjadi alat pembenar kesalahan/kejahatan. Proses paradox terjadi ketika penegak hukum membela kejahatan dengan membelokkan kalimat-kalimat hukum. Hal ini sering disebut dengan hukum transaksional atau dagang pasal.

Majelis Hakim disumpah untuk menegakkan keadilan di muka bumi mewakili Tuhan YME untuk memutus perkara dengan azas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Ketika ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi, artinya tidak menghadirkan keadilan (karena hukum dipakai untuk merekayasa kasus dan mengkriminalisasi warga tak bersalah), kepastian hukum justru menjadi barang permainan (dengan adanya hal kecil/sepele yang dipanjang-panjangkan), dan azas kemanfaatan amat jelas untuk kepentingan tameng bisnis illegal mafia di berbagai bidang.

Dalam situasi seperti ini, lahirnya RUU POLRI atas inisiatif DPR menjadi sorotan. POLRI adalah salah satu ujung tombak negara demokrasi, memiliki peran sentral dalam menjaga tatanan sosial dan hukum di dalam bermasyarakat. Mantan Ka BAIS TNI, Laksda TNI (Purn) Sulaeman B. Ponto, menjelaskan bahwa tambahan kewenangan POLRI dalam RUU Pasal 1 Ayat 7 RUU POLRI, memiliki dampak ikutan yang fatal. Hal ini akan membuat POLRI menangani keamanan yang bersumber dari hakikat ancaman yang datang dari luar negeri, yang tidak ada di negara manapun di dunia ini.

Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, SE, MM, MBA, mantan ASTER KASAD dan anggota Tim Perumus Reformasi ABRI, menyampaikan bahwa dalam konsep Reformasi Internal ABRI, paham keamanan sudah diubah secara mendasar, yakni transisi dari negara otoriter menjadi negara demokrasi. Keamanan dihasilkan dari sistem sipil yang berlandaskan hukum sebagai pilar demokrasi. Jika hukum tegak, maka rakyat aman dan damai. Jika hukum amburadul, itu merupakan tolok ukur kegagalan sebagai negara demokrasi.

Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi anarkis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa. Ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui hukum menjadi salah satu titik masalah yang harus segera ditangani. Negara harus memiliki blue-print untuk mewujudkan cita-cita pendiri bangsa ini.

Konsep Reformasi ABRI dimana POLRI ditempatkan sebagai bagian dari sistem sipil berdasar supremasi hukum, tidak seyogyanya dikembalikan lagi sebagaimana peranan TNI-AD di jaman Orde Baru sebagai alat kekuasaan. Jika POLRI memegang hukum lalu dipersenjatai dan masuk ke ranah politik, maka pilar demokrasi runtuh dan negara kembali ke tatanan otoriter dengan aktor utama POLRI. Hal ini akan menjadikan POLRI sebagai tumbal sejarah kegagalan demokrasi secara sah.

Presiden Jokowi diharapkan tidak mengirim RUU POLRI tersebut ke DPR RI, guna memberi kesempatan kepada publik dan akademisi untuk berpartisipasi, kecuali pasal perpanjangan umur pensiun dan kesejahteraan anggota yang diharapkan segera disahkan.

Penulis adalah, Direktur Eksekutif GeMOI Centre Gerakan Muliakan Orang Indonesia

Komentar