JurnalPatroliNews – Jakarta – Langkah Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk memulai proyek penulisan ulang sejarah nasional menuai kritik keras karena dinilai tidak melalui proses koordinasi yang memadai dengan Presiden Prabowo Subianto. Inisiatif tersebut bahkan disebut-sebut bisa menjadi sumber ketegangan politik baru.
Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, menyebut langkah ini sebagai blunder dalam konteks komunikasi politik. Menurutnya, pelaksanaan program berskala besar semacam ini seharusnya mendapat lampu hijau langsung dari Presiden, mengingat dampaknya terhadap persepsi publik dan dinamika elite nasional.
“Proyek ini tampaknya muncul sebagai inisiatif pribadi dari Menteri Fadli Zon. Padahal, untuk urusan strategis seperti penulisan ulang sejarah nasional, harusnya ada pelaporan lengkap dan diskusi bersama Presiden,” ujar Arif dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 25 Juni 2025.
Ia menduga kuat bahwa Presiden Prabowo belum menerima gambaran utuh mengenai kebijakan ini. Kurangnya koordinasi tersebut membuat kebijakan rawan menimbulkan kontroversi, seperti halnya insiden sebelumnya terkait kelangkaan gas akibat keputusan sepihak yang tak terkoordinasi.
“Kebijakan tanpa konsolidasi yang matang sangat berisiko. Apalagi ini menyangkut sejarah, yang sangat sensitif dan penuh muatan ideologis,” tambahnya.
Arif juga menyoroti minimnya transparansi dalam perencanaan proyek ini. Ia menyebut, banyak anggota Komisi X DPR yang tidak diberi informasi lebih awal terkait inisiatif tersebut.
“Kalau benar Komisi X DPR tidak mengetahui program ini sejak awal, artinya koordinasi antarlembaga sangat lemah. Ini catatan buruk dalam tata kelola pemerintahan,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa penulisan ulang sejarah harus dilakukan secara objektif, terbuka, dan bebas dari pengaruh politik. Melibatkan akademisi, sejarawan, dan masyarakat sipil dalam forum-forum publik adalah hal mutlak agar tidak menjadi alat kekuasaan.
“Sebelum proyek ini dijalankan, sebaiknya dilakukan evaluasi menyeluruh. Sejarah jangan sampai dijadikan instrumen pembenaran politik,” pungkas Arif.
Komentar