JurnalPatroliNews – Jakarta – Langkah mutasi besar-besaran yang dilakukan oleh salah satu institusi penegak hukum belakangan ini menarik perhatian publik. Mutasi ini dilakukan tak lama setelah terungkapnya temuan uang tunai dalam jumlah besar di lingkungan lembaga tersebut. Meski tampak sebagai respons tegas, sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas langkah tersebut jika tidak disertai dengan pembenahan menyeluruh dalam sistem birokrasi dan penegakan hukum.
Salah satu suara kritis datang dari IGN Agung Y. Endrawan, SH, MH, CCFA, mantan Direktur Kebijakan Bakamla, mantan Asisten Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), sekaligus mahasiswa doktoral kebijakan publik. Dalam pandangannya, mutasi tidak bisa dijadikan solusi tunggal untuk menyelesaikan persoalan mendasar yang sudah mengakar dalam sistem manajemen ASN dan lembaga penegak hukum di Indonesia.
“Mutasi memang bisa menjadi langkah awal, tapi itu belum cukup. Yang harus dibenahi adalah sistemnya. Tanpa reformasi sistemik, kita hanya mengganti wajah, bukan memperbaiki penyakit yang sesungguhnya,” ujarnya, kepada JurnalPatroliNews, Rabu (7/5/2025).
Menurut Endrawan, masih banyak jabatan strategis yang diberikan bukan berdasarkan kompetensi atau rekam jejak yang bersih, melainkan karena kedekatan atau kepentingan politik. Hal ini, lanjutnya, bertentangan langsung dengan prinsip meritokrasi yang semestinya menjadi dasar dalam pengelolaan ASN. Jika hal ini terus dibiarkan, kata dia, maka sendi-sendi dasar negara hukum akan terkikis perlahan.
Lebih jauh, Endrawan menyoroti besarnya biaya politik yang kerap dibutuhkan dalam proses pemilihan kepala daerah. Ia mengungkapkan, tingginya biaya politik ini bisa menjadi pintu masuk kompromi antara pejabat politik dan birokrasi, yang pada akhirnya mengancam netralitas ASN. Padahal, Undang-Undang ASN secara tegas telah menetapkan asas netralitas sebagai prinsip utama dalam pelaksanaan tugas ASN.
“Saat jabatan publik dijadikan alat tukar politik, maka yang dikorbankan adalah integritas dan kepercayaan publik. Ini berbahaya bagi masa depan birokrasi,” tegasnya.
Endrawan juga menyoroti keputusan pemerintah membubarkan KASN, lembaga independen yang selama ini bertugas mengawasi pelaksanaan sistem merit di kalangan ASN. Menurutnya, pembubaran ini adalah langkah mundur, karena justru menghilangkan salah satu instrumen pengawasan yang penting dalam memastikan proses rekrutmen dan promosi ASN dilakukan secara adil dan transparan.
Ia menekankan pentingnya asesmen jabatan yang tidak hanya mengukur kemampuan teknis, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai integritas, moralitas, dan keterbukaan terhadap pengawasan. Baginya, integritas seharusnya menjadi indikator utama dalam promosi jabatan, bukan sekadar angka-angka atau sertifikasi administratif.
Mengacu pada visi besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang tertuang dalam Asta Cita, Endrawan menyebut bahwa dua dari delapan misi strategis pemerintahan secara langsung menyoroti pentingnya reformasi birokrasi dan penegakan hukum. Ia melihat inilah momentum yang tepat untuk melakukan perombakan menyeluruh terhadap sistem ASN dan institusi hukum.
“Pemerintah harus memanfaatkan misi Asta Cita sebagai landasan untuk membangun birokrasi yang benar-benar profesional dan lembaga penegak hukum yang dipercaya rakyat. Jangan sampai ini hanya menjadi slogan tanpa implementasi nyata,” ujarnya.
Lebih lanjut, Endrawan mengajak para pemimpin lembaga strategis untuk menjadi teladan. Ia mengutip pepatah Jawa “Ing ngarso sung tulodo” di depan harus menjadi contoh, untuk menggambarkan pentingnya keteladanan dalam membangun budaya kerja yang sehat.
“Kalau yang di atas permisif terhadap pelanggaran, yang di bawah pasti ikut-ikutan. Keteladanan itu tidak bisa digantikan oleh aturan seketat apa pun,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa menjadi ASN bukanlah sekadar pekerjaan administratif, melainkan sebuah bentuk pengabdian. Menurutnya, etika, empati, dan integritas harus menjadi napas dari setiap tindakan ASN, bukan hanya tertulis dalam modul pelatihan atau dokumen kode etik.
Dalam penutupnya, Endrawan mengingatkan kembali akan pentingnya sumpah jabatan. Ia menyebut bahwa sumpah itu bukanlah sekadar simbol atau formalitas, melainkan janji moral dan spiritual yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, baik kepada negara, masyarakat, maupun kepada Tuhan.
“Jika sumpah jabatan dianggap hanya seremonial, maka tak akan ada lagi batas antara kehormatan dan penyimpangan,” katanya.
Ia menggarisbawahi, tujuan dari semua ini bukan hanya untuk ‘bersih-bersih’ institusi, tetapi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa hukum memang ditegakkan secara adil dan tidak pandang bulu.
“Yang kita perjuangkan adalah hadirnya keadilan sejati dalam kehidupan rakyat, bukan sekadar citra institusi. Tanpa dukungan politik yang konsisten dan keterlibatan semua pihak, reformasi birokrasi hanya akan jadi slogan,” tutupnya.
Komentar