RI Hobinya Beli Barang Bekas, Imparsial Nilai Rencana Prabowo Beli Jet Tempur Bekas Mengulangi Kesalahan Masa Lalu

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai pemerintah mengulangi kesalahan masa lalu dalam rencana pembelian pesawat jet tempur bekas jenis Eurofighter Typhoon dari Angkatan Udara Austria.

“Ada kecenderungan pemerintah mengulangi kesalahan di masa lalu, yang dalam konteks perencanaan modernisasi alutsista,” kata Gufron dalam diskusi ICW dan Imparsial, Senin, 27 Juli 2020.

Gufron mengatakan ada empat persoalan yang sering terjadi dalam modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Pertama, alutsista yang dibeli dadakan sering kali kualitasnya di bawah standar atau tidak sesuai kebutuhan. “Dalam realitanya, tidak memadainya alutsista yang dibeli mempengaruhi kesiapan alutsista yang kita punya dalam konteks operasi di lapangan,” katanya.

Kedua, pemerintah cenderung memperbaiki alutsista bekas ketimbang beli baru. Padahal, alutsista bekas selalu menimbulkan persoalan dari sisi anggaran maupun penggunaannya di lapangan.

“Tidak apa-apa (jumlahnya) sedikit tapi baru, kemudian andal, senjata lengkap, daripada beli banyak tapi bekas,” ujar dia.

Ketiga, pengadaan alutsista produk luar negeri harus dibarengi dengan mekanisme transfer teknologi, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Industri Pertahanan. Transfer teknologi penting untuk membangun kemandirian pertahanan.

Dalam konteks ide pembelian Eurofighter Typhoon, Gufron menilai transfer teknologi tak bisa dilakukan karena Austria bukan bagian dari jalur produksi pesawat tersebut.

“Gimana mau bicara kemandirian pertahanan kalau Indonesia hobinya beli barang bekas.”

Keempat, masalah alutsista juga kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga atau broker, sehingga ada dugaan mark-up pengadaan. Alih-alih memperkuat pertahanan, kata Gufron, ide pembelian akan menimbulkan persoalan baru dari sisi akuntabilitas anggaran dan transparansi.

Menurut Guron, paling penting dari pengadaan alutsista bekas adalah berbahaya dan mengancam nyawa prajurit TNI, karena risiko potensi kecelakaan dalam penggunaannya. “Pemerintah terutama Kemenhan, perlu lah berlajar dari pengalaman masa lalu berbagai peristiwa kecelakaan yang melibatkan pesawat militer,” katanya.

(lk/*)

Komentar